Senin, 18 Juli 2011

LAGU

Download

* Hymne Pelajar NU
* Hymne Pelajar NU (karaoke)
* Hymne Perjuangan
* Hymne Perjuangan (karaoke)
* Indonesia Raya (karaoke)
* Iringi Wahdana
* Mars CBP
* Mars IPNU
* Mars IPNU (karaoke)
* Mars IPPNU
* Mars IPPNU (Karaoke)

BAHAN AJAR KE-NU-AN KELAS X

BAB I

MASUKNYA ISLAM DAN BERKEMBANGNYA KEI INDONESIA

1. A. SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

Ada tiga teori yang menyatakan masuknya Islam di Indonesia, yaitu :

1. Teori Gujarat: Menutut teori ini Islammasuk ke Indonesia pertama kali dari Gujarat (India) pada abad ke 12-13 M. Hal ini dibuktikan dengan :
1. Adanya persamaan Batu Nisan di Cambay, Gujarat dangan Batu Nisan yang ada di Pasai (Aceh) bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H / 27 September 1428 M dan Batu Nisan di Gresik (makam Maulana Malik Ibrahim) bertanggal 822 H / 1419 M.
2. Pada waktu itu para pedagang Arab yang singgah di Gujarat dalam rangka perdagangan timur tengah dengan Indonesia.

1. Teori Arabia :Islam masuk pertama kali masuk ke Indonesia langsung dari Arab pada abad 1 H atau abad 7-8 M, hal ini dibuktikan dengan :
1. Adanya perkampungan arab (Pekojan) di pesisir utara pantai Sumatra (Aceh) pada tahun 684 M.
2. Pada tahun 632 M para saudagara arab melakukan ekspedisi perdagangan ke Cina, namun sebelumnya singgah dulu di Aceh, sejak saat itulah awal Islam masuk ke Indonesia.

1. 3. Teori Persia : Islam di Indonesia berasal dari Persia, hal didasarkan atas persamaan budaya, yaitu :
1. Peringatan 10 Muharram (Syuro) sebagai peringatan Syi’ah terhadap Syahidnya Husain.
2. Ada persamaan ajaran Wahdatul Wujudi Hamzah Fansuri dan Syeikh siti Jenar dengan ajaran Sufi Pesia, Al Hallaj (wafat 922 M)
3. Penggunaan istilah Persia dalam tanda bunyi harokat dalampengajian Al Qur’an
4. Mayoritas bermadzhab Syafi’i.

Daerah lain yang pertama menerima islam adalah Jawa, hal ini didasarkan bukti-bukti sebagai berikut :

- Pada tahun 674 M raja Ta-cheh (Muawiyah) mengirim utusan ke kerajaan Kalingga untuk mengetahui keadaan kerajaan tersebut. Berdasarkan utusan tersebut diketahui bahwa pada waktu itu sudah ada penduduk yang beragama Islam.

- Di desa Leran, Manyar, Gresik ditemukan makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 475-495 H (1082-1101 M)

Berdasarkan pemaparan teori di atas dapat disimpulkan bahwa, Islam pertama kali masuk ke Indonsia pada abad 1 H /7-8 M langsung dari Arab, namun dapat berkembang dengan pesat pada abad ke 12-13 M, hal ini ditandai dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai, dimana budaya Islam yang berkembang adalah budaya Islam Persia.

1. B. TOKOH - TOKOH PENYEBAR ISLAM DI INDONESIA

Pada awalnya, tokoh-tokoh penyebar Islam di Indonesia adalah para pedagang. Selain membawa dan menawarkan dagangan, mereka juga memperkenalkan dan menyiarkan Islam kepada para penduduk.

1. 1. Sumatra
1. Syeikh Ismail, Seorang ulama Makkah yang tinggal di Pasai. Beliau berhasil mengislamkan Meurah Silu yang berganti nama Malikus Shalih (raja Samudra Pasai pertama).
2. Syeikh Abdullah Al Yamani, ulama Makkah, berhasil mengislamkan penguasa Kedah yang berganti nama Sultan Muzahffar Syah.
3. Said Mahmud Al Hadramut, berhasil mengislamkan Raja Guru Marsakot dan rakyatnya yang berada di wilayah Barus (Sumatra Utara)
4. Syeikh Burhanudin Ulakan, Ulama Minangkabau penganut tarekat Syatariyah
5. Sayyid Usman Syahabudin, Ulama Riau yang menyiarkan Islam di kerajaan Siak.

1. 2. Jawa

Penyebar Islam di Jawa dikenal dengan sebutan wali songo, yaitu :
a. Maulana Malik Ibrahim f. Sunan Drajat (Syarifudin Hasyim)
b. Sunan Ampel (Raden Rahmat) g. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah
c. Sunan Giri (Raden Paku) h. Sunan Kalijaga (Raden Mas Sahid)
d. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) i. Sunan Muria (Raden Prawoto)
e. Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)

Madura baru terislamkan pada abad ke-15 M. adapun tokokh yang berjasa adalah : sunan Padusan, (Raden Bendoro Diwiryopodho/Usman Haji) di daerah Sumenep, Buyut Syeikh dan empu Bageno yang berdakwah di Sampang.

1. 3. Daerah Lain
1. Kalimantan : Tuan Tunggang dan Datuk ri Bandang
2. Sulawesi : Maulana Husain (ternate), Syeikh Mansur (Tidore), Katib Sulung, Datuk ri Patimang, (Goa), Sayyid Zeun al Alydrus dan Syarif Ali (Bugis).
3. Nusa Tenggara : Sunan Prapen, Habib Husain bin umar dan Habib Abdullah Abbas (Lombok), Syarif Abdurrahman Al Gadri (Sumba), Syeikh Abdurrahman (Sumbawa dan Timor), Pangeran Suryo Mataram (Kupang).

1. C. FAHAM KEISLAMAN YANG BERKEMBANG DI INDONESIA

Faham ke-Islaman yang berkembang di Indonesia sejak awal adalah faham Ahlusunnah wal Jama’ah atau disebut juga Sunni yang menonjolkan aspek-aspek sufistik dan bermadzhab Syafi’i.

Secara Harfiyah Ahlusunnah wal Jama’ah berasal dari tiga kata :

1. Ahlu ; keluarga, golongan atau pengikut
2. Al Sunnah ; segala sesuatu yang diajarkan dan diamalkan Rasulullah SAW.
3. Jama’ah ; para shahabat, apa yang disepakati para shahabat pada masa Khulafaur Rosidin.

Jadi, Ahlusunnah wal Jama’ah ialah : Golongan yang mengikuti ajaran Islam seperti yang diajarkan dan diamalkan Rosulullah dan para Shahabtnya.

Faham ini di pelopori oleh ; Imam As’ary dan Imam Maturidi.

1. D. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan teori – teori masuknya Islam di Indonesia :

- Teori Arabia

- Teori Gujarat

- Tepri Persia

1. Jelaskan faham Keislaman yang berkembang di Indonesia ?
2. Apa yang kamu ketahui tentang Ahlusunnah Wal Jama’ah ?
3. Sebutkan nama-nama Wali Songo ?
4. Sebutkan tokoh-tokoh penyebar Islam di

- Sumatra

- Kalimantan

- Sulawesi

- Madura

- Nusa Tenggara

BAB II

STRATEGI DAN PENYEBARAN ISLAM

DI INDONESIA

1. A. STRATEGI DAKWAH ISLAMIYAH

Islam dalah agama yang membawa rahmat kepada seluruh alam semesta, bukan hanya umat Islam semata. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT …

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.”

Dalam mengemban dakwah Islamiyah, para Da’i atau Mubaligh tidak menempuh jalan kekerasan, namun lebih memilih jalan damai. Metode dakwah dengan jalan kekerasan hanya akan memimbulkan dampak negatif baik dari segi Da’i maupun dari segi dakwah Islamiyah itu sendiri.

Karena tugas dakwah adalah tugas setiap umat Islam, maka kegiaytan dakwah Islamiyah dilaksanakan oleh semua pihak dengan berbagai kegiatannya masing-masing. Para pedagang melaksanakan dakwahnya dalam kegiatan perdagangan, para seniman melaksanakan dakwahnya dalam kegiatan seni dan budaya, dan para penguasa (pemimpin) melaksanakan dakwahnya dalam kegiatan pemerintahan.

1. DAKWAH MELALUI KEGIATAN PEREKONOMIAN

Salah satu proses Islamisasi di Indonesia melalui jalur perdagangan, hal ini sesuai dengan kesibukan jalur perdagangan di selat Malaka pada abad 7-12 M. Para pedagang Arab mempunyai peranan yang penting dalam aktfitas perdagangan Timur-Barat.Kegiatan perdagangan tersebut digunakan untuk berdakwah dan berinteraksi dengan para penguasa setempat. Keuntungan lainya ialah status social yang tinggi para pedagang, dengan menduduki golongan elit tersebut dapat dimanfaatkan untuk berdakwah di pusat-pusat pemerintahan.

1. C. DAKWAH MELALUI KEGIATAN SENI BUDAYA

Selain perdagangan, para mubaligh Islam juga menggunakan bentuk-bentuk seni dan budaya sebagai media dakwah. Cara ini lebih mengutamakan isi daripada bentuk lahiriyah dan mudah menarik simpati rakyat sehingga mudah pula merek masuk Islam.

Bentuk-bentuk seni dan budaya yang digunakan sangat beragam, ada yang memanfatkan yang sudah ada namun ada yang memunculkan hal yang baru. Cabang seni yang popular digunakan adalah Wayang, Gamelan, Gending, dan seni ukir.

Inisiatif penggunaan Wayang adalah Sunan Kalijaga dengan memodifikasi bentuk dan isi ceritanya. Di dalamnya diselingi gending-gending yang berupa syair-syair yang berisi ajaran agama, pendidikan, dan falsafah kehidupan. Budaya yang masih dipeertahankan sebagai media dakwah ialah Kenduri dan Selametan, dimana niat dan isinya diubah dan diaganti nilai-nilai keislaman.

1. D. DAKWAH MELALUI PERKAWINAN

Beberapa factor yang mendorong terjadinya perkawinan pendatang muslim dan wanita setempat, antara lain :

1. Karena Islam tidak membedakan status masyarakat.
2. Kebutuhan biologis, para pedagang biasanya tidak membawa istri dalam muhibahnya. Para pribumi juga membiarkan perkawinan anak-anakya dengan pedagang muslim untuk memperoleh status social dan ekonomi yang kuat.
3. Faktor politik, dengan menikahi putri bangsawan maka akan meningkatkan status social dan ekonomi sehingga memudahkan untuk berdakwah.

Melalui perkawinana ini nantinya akan membentuk inti masyarkat muslim yang menjadi titik tolak perkembangan Islam di Indonesia.

1. E. DAKWAH MELALUI POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Berdakwah dilakukan pula di lingkungan kerajaan, sasaran utamanya adalah para raja, keluarga raja, dan para pembesar kerajaan. Tujuan utamanya adalah apabila sang raja telah masuk Islam, maka rakyatnya akan setia mengikutinya.

Di antara para tokoh yang berhasil ialah Syeikh Ismail yang berhasil mengislamkan Merah Silu (Malikus Shaleh raja Samudra Pertama). Di Jawa; Raden Rahmatullah (Sunan Ampel) berhasil berdakwah di lingkungan kerajaan majapahit. Walaupun prabu brawijaya tidak mau masuk Islam, namun Sunan Ampel diberi kebebasan untuk berdakwah sampai ia mendirikan Pesantren di Randukuning Surabaya yang bernama Ampel Dento .

Salah satu kader Sunan Ampel adalah Raden Patah, beliau adalah putra Brawijaya V dari ibu Dharawati. Pada tahun 1462 Raden Patah diangkat menjadi adipati Bintoro (Demak), meskipun demikian beliau tetap berdakwah dan mendidik para santri di pesantren Glagahwangi. Demak berkembang dengan pesat, selain sebagai pusat pemerintahan tetapi juga sebagai pusat dakwah Islamiyah dan berkumpulnya para wali songo. Di Kota ini para wali mendirikan sebuah masjid agung pada tahun 1468 M. Melalui musyawarah para Wali maka Raden Patah diangkat menjadi Sultan di Demak, sejak saat itu berdirilah kerajaan Islam di Jawa, yaitu kerajaan Demak.

Dengan berdirinya kerajaan (pemerintahan) Islam, maka penyebaran Islam akan lebih kokoh, sehingga Islam berkembang dengan pesat di Indonesia.

PONDOK PESANTREN

1. A. LATAR BELAKANG BERDIRINYA PONDOK PESANTREN

pesantren merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, dimana bila di tinjau dari segi sejarah dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama.

Pondok adalah rumah atau tempat tinggal sederhana, disamping itu kata “Pondok” berasal dari bahasa Arab “Funduq” yang berarti asrama. Sedangkan Istilah pesantren berasal dari kata Shastri (India) yang berarti Orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri. Dalam bahasa Jawa mnejadi Santri dengan mendapat awalan Pe dan akhiran an menjadi Pesantren :Sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.

Di Aceh Pesantren disebut : dayah, Rangkang, Meunasah. Pasundan disebut Pondok, dan di Minangkabau disebut Surau. Pimpinan pesantren tertinggi (Pengasuh) disebut Kyai (jawa), Tengku (Aceh), Datuk atau Buya (Minangkabau), Abah/Ajengan (Sunda).

Tokoh yang pertama mnedirikan pesantren adalah Maulana malik Ibrahim (w. 1419M), beliau menggunakan Masjid dan pesantren untuk pengajaran ilmu-ilmu agama yang akhirnya melahirkan tokoh-tokoh wali songo. Pada taraf permulaan bentuk pesantren sangat sederhana, kegiatan pendidikan dilakukan di masjid dengan beberapa santri. Ketika Raden Rahmad (Sunan Ampel) mendirikan pesantren (Ampel Dento) hanya memiliki tiga orang santri. Para santri yang telah selesai belajarnya di Pesantren Ampel Dento kemudian mendirikan pesantren baru. Salah satunya adalah Raden Paku (Sunan Giri) yang mendirikan Pesantren d desa Sidomukti, Gresik yang bernama Giri Kedaton.

Pesantren Giri Kedaton memiliki santri dari berbagai daerah, seperti jawa, Madura, Lombok, Sumbawa, Makasar, Ternate, dan lain-lain. Setiap santri kemudian mendirikan pesantren di daerahnya masing-maisng dengan demikian pesantren dapat berkembang dengan pesat.

Berdasarkan sejarah berdirinya, maka tujuan berdirinya pesantren ialah :

1. Sebagai lembaga pendidikan keagamaan dan pembentuk kader-kader ulama
2. Sebagai benteng pertahanan dan pengawal bagi keberlagsungan dakwah Islamiyah di Indonesia.

1. B. FUNGSI DAN PERAN PESANTREN DALAM PENYEBARAN ISLAM

Fungsi utama pondok pesantren ialah sebagai lembaga pendidikan keagamaan dan pusat dakwah islamiyah. Pada masa penjajahan Pesantren merupakan pendidikan menanamkan sikap patriotisme dan basis perjuangan untuk melawan penjajah.

Tradisi pesantren memiliki sejarah panjang. Oleh karena itu, situasi dan peranan Pesantren dewasa ini harus dilihat dalam hubungan perkembangan Islam jangka panjang, baik di Indonesia maupun di negara-negara Islam pada umumnya.

Sesuai dengan perkembangan jaman maka pondok pesantren saat ini dilengkapi dengan ilmu-ilmu umum dan berbagai ketrampilan. Hal ini untuk membekali para santri agar tidak gagap dengan perkembangan IPTEK dan dapat berperan aktif dalam masyarakat luas.

Pendidikan di Pesantren bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowliege) tetapi juga transfer nilai (transfer of value), sehingga akan mampu mencetak santri yang menguasai ilmu-ilmu agama, mengamalkan ilmunya dengan ikhlas, dan menjadi orang yang sholeh apapun profesinya.

1. C. METODE KAJIAN YANG DILAKUKAN DI PESANTREN

Proses pendidikanya berlangsung 24 jam, dimana terjadi hubungan antara Kyai dan santri, santri sesame santri yang berada dalam satu kompleks (masyarakat belajar).

Setidaknya ada tiga jenis ilmu keislaman yang secara istiqomah diajarkan di pesantren, yaitu : Aqidah (Kalam), Fiqh (Syari’ah), dan Akhlaq (tasawuf). Ketiga ilmu tersebut digali dan dipelajari dari sumber kitab-kitab salaf (kitab kuning) yang disusun oleh para ulama Ahlusunnah wal Jama’ah.

Sistem pembelajaran di Pesantren meliputi :

1. Sorogan, Kyai/Ustadz mengajar para santri satu persatu, tanpa membedakan umur dan jenjang pendidikan.(kelas). Contoh : sorogan Qur’an, sorogan Kitab dan lain-lain.
2. 2. Bandungan, Kyai/Ustadz mengajar para santri secara bersama-sama tanpa membedakan umur dan kelas. System ini biasanya dilakukan pada waktu tertentu dan pada materi tertentu, seperti pengajian akhlaq, Hadits, Pengajian Romadlon, dan lain lain.
3. 3. Madrasy / Kalsikal, system pembelajaran dengan cara klasikal, para santri dikelompokan sesuai umur dan tingkat kemampuannya. Dalam pendidikan Pesantren dikenal jenjang pendidikan yaitu :Awaliyyah, Wustho, Ulya, Ma’had ‘Ali.

Berdasarkan system pembelajarannya, maka pesantren dapat dikelompokkan :

1. Pesantren Al Qur’an, Pesantren yang secara khusus mempelajari Al Qur’an dan mencetak para Hafidz fdan Hafidzah.
2. Pesantren Kitab, Pesantren yang secara khusus mempelajari ilmu-ilmu fiqh
3. Pesantren Alat, pesantren yang secara khusus mempelajari ilmu-ilmu Bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu, Shorof, dan lain-lain.

Sedangkan tipe secara umum pesantren adalah :

1. Pesanten Salafiyyah, Pesantren yang tidak menyediakan pendidikan formal, sehingga para santri hanya khusus belajar di pesantren. Pesantren Salafiyah secara khusus mempelajari satu bidang keilmuan, seperti fiqh, Hadits, atuapun ilmu alat.
2. Pesantren Modern, Pesantren yang menyediakan pendidikan formal, sehingga para santri selain belajar di pesantren juga menempuh pendidikan formal.
3. Pesantren Perpaduan , Pesantren yang menyediakan pendidikan formal, tapi dalam system pembelajaranya juga mengikuti system Salafiyyah.

D. HAL-HAL YANG MENJIWAI DI PESANTREN

Sebagai lembaga Tafaqquh fiddin (memperdalam agama) pondok pesantren mempunyai jiwa yang membedakan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainya. Jiwa pondok pesantren tersebut dinamakan “Panca Jiwa Pesantren”, yaitu :

1. Jiwa keikhlasan , jiwa ini terbentuk oleh suatu keyakinan bahwa semua perbuatan (baik atau buruk) pasti akan di balas oleh Allah SWT, jadi beramal tanpa pamrih tanpa mengahrapkan keuntungan duniawi.
2. Jiwa Kesederhanaan, sederhana bukan berarti pasif tetapi mengandung unsur kekuatan dan kaetabahan hati serta penguasaan diri dalam mengahadapi dalam mengahdapi segala kesulitan.
3. Jiwa Persaudaraan yang Demokratis, segala perbedaan dipesantren tidak menjadi penghalang dalam jalinan ukhuwah (persaudaraan) dan Ta’awun (saling menolong).
4. Jiwa kemandirian, pesantren harus mampu mandiri dengan kekuatannnya sendiri.
5. Jiwa Bebas, bebas dalam membentuk jalan hidup dan menetukan masa depan dengan jiwa besar dan sikap optimis mengahadapi berbagai problematika hidup berdaqsarkan nilai-nilai ajaran Islam. Kebebasan jiwa pondok pesantren juga berarti tidak terpengaruh dan didikte oleh dunia luar.

BAB IV

SEJARAH ORGANISASI NAHDALATUL ULAMA

A. MOTIFASI KELAHIRAN NU

Pada tahun 1914 KH. Abdul Wahab Hasbullah pulang dari Mekkah setelah bertahun-tahun belajar di sana. Beliau terkenal ulama yang sangat dinamis dan mempunyai cita-cita untuk mempersatukan umat Islam dalam suatu perkumpulan / organisasi keagamaan. Untuk mewujudkan hal itu, beliau menggandeng ulama yang sangat Kharismatik, yaitu KH. Hasyim As’ary Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang (JATIM).

Kedua Ulama ini mencoba untuk mengorganisir dan memberi wadah serta mempersatukan umat Islam (tradisionalis) di Indonesia . Untuk mewujudkan hal tersebut ditempuh langkah-langkah :

1. Pada tahun 1916 Kyai Wahab mendirikan Madrasah “Jam’iyatul Nahdlotul Wathon “ di Surabaya. Madrasah ini berkembang dengan pesat dan membuka cabang di Semarang, Malang, Sidoarjo, Gresik, Lawang, Pasuruan, dan lain-lain.
2. Pada tahun 1919 berdiri TASWIRUL AFKAR”, sebuah madrasah dan forum diskusi keagamaan yang tujuan utamanya memberi tempat untuk mengaji dan belajar serta untuk membela kepentingan Islam.
3. 3. Pada tahun 1924 berdiri organisasi “Syubhanul Wathon (pemuda tanah air), organisasi ini mempunyai kegiatan membahas masalah agama, dakwah, peningkatan pengetahuan bagi anggotanya, dan lain-lain.

Pada tahun 1926 akan disenggarakan Kongres Islam sedunia di Makkah yang diikuti perwakilan dari organisasi-organisasi Islam di dunia. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 KH. A. Wahab Hasbullah membentuk suatu komite yang bernama Komite Hijaz yang beranggotakan para alim ulama dari berbagai daerah guna mengikuti Kongres tersebut. Dalam rapat/sidang komite hijaz tersebut memutuskan dua hal, yaitu :

1. Meresmikan dan mengukuhkan Komite Hijaz dengan masa kerja samapai delegasi yang akan dikirim menemui Raja Ibnu Saud dan mengirim delegasi ke Kongres Islam di Makkah. Adapun yang dikirim ialah KH. Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahamad Ghunaim al Mishri.
2. Membentuk sebuah Jam’iyyah (organisasi) yang bernama NAHDLATUL ULAMA’. Denggan tujuan untuk membina terwujudnya masyarkat Islam berdasarkan aqidah atau faham Ahlusunnah wal Jama’ah (ASWAJA).

Mayoritas anggota NU berada di Jawa, khususnya JATIM, sepanjang pantura JATENG, Cirebon, dan Banten. Adapun diluar Jawa meliputi : Banjar (KALSEL) ,Batak Mandailing (SUMUT), Bugis (SULSEL), Sasak dan Sumbawa (NTB). Cabang tersebut beridri pada kurun waktu 1930-1940. Kiprah NU yang paling menonjol ialah dibidang pendidikan, jumlah madrasah meningikat pesat pada waktu 1920-1930-an. Unt6uk mengkoordinasikan kegiatan pendidikan tersebut dibentuk Lembaga Pendidikan Ma’arif pada tahun 1938.

B. TOKOH-TOKOH PENDIRI NU

Adapun tokoh besar pengurus NU ialah :

1. KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947) Jombang
2. KH. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971) Jombang
3. KH.Bisyri Sansoeri (1886 – 1962 ) Jombang
4. KH. Ridwan Abdullah (1884 -1962) Semarang
5. KH. Asnawi (1861-1959) Kudus
6. KH. Ma’sum (1870-1972) Lasem
7. KH. Nawawi, Pasuruan
8. KH. Nahrowi, Malang
9. KH. Alwi Abdul Aziz, Surabaya

C. NAMA DAN LAMBANG NU

Nahdlatul Ulama adalah organisasi social keagamaan (Jam’iyyah Diniyah Islamiyah) yang berhaluan (faham) Ahulusunnah wal Jamaah. Secara harfiah terdiri dari kata Nahdlah : Bangkit/Kebangkitan dan ‘Ulama : Orang-orang yang ahli agama, Jadi Nahdaltul Ulama berarti kebangkitan para alim-ulama. Nama NU disusulakan KH. Alwi Abdul Aziz dari Surabaya.

Lambang NU berupa :

1. Gambar bola Dunia atau Bumi yang mengingatkan manusia itu berasal dari tanah dan kembali ke tanah.
2. Dilingkari Tali Tersimpul yang melambangkan ukhuwah atau persatuan, dan ikatanya melambangkan hubungan dengan Allah SWT.
3. Dikelilingi sembilan Bintang,

- Lima bintang di atas katulistiwa, satu bintang besar melambangkan Nabi Muhammad SAW, sedangkan empat bintang dibawahnya melambangkan empat shahabat (khulafaur rosidin).

- Empat bintang di bawah garis katulistiwa, melambangkan empat madzhab.

- Disamping itu jumlah seluruh bintang sembalian juga melambangkan wali songo.

Jadi Nabi SAW, Shahabat, Imam Madzhab, dan wali songo yang akan memberikan sinar dan petunjuk jalan yang benar.

1. Tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia.

Semua jenis lambing tersebut dilatarbelakangi warna putih di atas warna hijau. Warna putih melambangkan kesucian dan warna hijau melambangkan kesuburan. Lambang ini diciptakan oleh KH. Ridwan Abdullah dari Surabaya setelah beliau melakukan shalat Istikharah.

SOAL LATIHAN BAB IV

1. I. Pilihan Ganda

1. Sebelum Nahdlatul Ulama berdiri, telah berdiri beberapa organisasi yang menjadi embrio organisasi NU, Yaitu …..

A. Subbanul wathon, Sarikat Islam, Muhammadiyah

B. Nahdaltul Waton, Taswirul Afkar, Sarikat Dagang Islam

C. Nahdaltul Waton, Taswirul Afkar, Subbanul wathon

D. Sarikat Islam, Subbanul wathon, Nahdlatul Wathon

E. Budi Utomo, Muhammadiyah, Sarikat Dagang Islam

2. Pada tanggal 31 Januari 1926 Komite Hijaz bersidang dengan keputusan …

A. mengukuhkan komite Hijaz dan membentuk organisasi

B. mengukuhkan komite Hijaz dan membentuk organisasi Subbanul Wathon

C. mengukuhkan komite Hijaz dan membentuk organisasi Nahdlatul Wathon

D. mengukuhkan komite Hijaz dan membentuk organisasiNahdlatul Ulama

E. mengukuhkan komite Hijaz dan membentuk organisasiTaswirul Afkar

3. Nama “Nahdlatul Ulama” atas usulan …
A. KH. Hasyim As’ary D. KH. Alwi Abdul Aziz
B. KH. Wahab Hasbullah E. KH. Ridlwan
C. KH. Asnawi Kudus

4. Sebuah organisasi yang menggalang para pemuda untuk di bina dasar-dasar keagamaan dan wawasan kebangsaan ialah ..
A. Subbanul wathon D. LP Ma’arif
B. Taswirul Afkar E. Sarikat Islam
C. Nahdlatul Wathon

5. Nahdlatul Ulama adalah organisasi sosial keagamaan yang berfaham …
A. Wahabiyah D. Ahlusunnah wal Jamaah
B. As’ariyah E. Maturidiyah
C. Mu’tazilah

6. ”Habluminallah wa habluminannas” adalah salah satu makna yang terdapat dalam lambang NU yaitu berupa …..
A. lima bintang di atas garis katulistiwa D. tali yang tersimpul
B. lima bintang di bawah garis katulistiwa E. tali yang mengitari bola dunia
C. bola dunia

“ Manusia dari tanah dan akan kembali ke tanah ”, dalam Lambang NU disimbulka berupa ….
A. lima bintang di atas garis katulistiwa D. tali yang tersimpul
B. lima bintang di bawah garis katulistiwa E. tali yang mengitari bola dunia
C. bola dunia
8. 1. KH. Abdurrahman Wahid

2. KH. Bisri Sansuri

3. KH. Hasyim Muzadi
4. KH. Asnawi Kudus

5. KH. Alwi Abdul Aziz

Tokoh-tokoh pendiri NU ditunjukkan pada nomor …
A. 2,3,4 D. 3,4,5
B. 1,2,5 E. 1,2,3
C. 2,4,5

9. Nahdlatul Wathon adalah sebuah madrasah yang didirikan oleh …
A. KH. Alwi Abdul Aziz D. KH. Ridlwan
B. KH. Adnawi Kudus E. KH. Bisri Sansuri
C. KH. Wahab Hasbullah

10. Dalam rangka memperkuat dan mengembangkan NU, pada awal berdirinya NU lebih berperan dalam bidang pendidikan, diantaranya dengan membentuk lembaga pendidikan yang bernama Ma’arif yang berdiri pada tahun …
A. 1914 D. 1938
B. 1924 E. 1948
C. 1926

BAB V

SISTEM KEORGANISASIAN NU
A. KEPENGURUSAN NU

Kepengurusan NU terdiri dari tiga bagian, yaitu ;

1. Mutasyar; Penasehat yang secara kolektif memberikan nasehat kepada pengurus NU menurut tingkatannya dalam rangka menjaga kemurnian, khothah nahdliyah, agama, dan menyelesaikan persengketaan.
2. Syuriyah; merupakan pemimpin tertinggi NU yang berfungsi pemembina, pengendali, pengawas, dan penetu kebijakan dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi. Tanfidziyah.
3. Tanfidziyah; pelaksana harian organisasi NU yang bertugas :

- Memimipin jalanya organisasi

- Melaksanakan program NU

- Memahami dan mengawasi kegiatan semua perangkat organisasi dibawahnya.

- Menyampaikan laporan secara pereodik kepada syuriyah tentang pelaksanaan tugas.

B. TINGKAT KEPENGURUSAN

1. Pengurus Besar NU (PBNU)

Pengurus besar adalah kepengurusan NU ditingkat pusat dan berkedudukan di Ibu kota negara Indonesia. Pengurus besar merupakan penganggung jawab kebijakan dalam pengendalian organisasi dan pelaksanaan keputusan muktamar.

2. Pengurus Wilayah NU (PWNU)

Pengurus Wilayah adalah kepengurusan ditingkat Porpinsi yang berkedudukan di Ibu kota Propinsi.

3. Pengurus Cabang NU (PCNU)

Pengurus Cabang adalah kepengurusan U ditingkat kabupaten/kota yang berkedudukan ditingkat kabupaten

4. Pengurus Majlis Wakil Cabang (MWCNU)

Pengurus MWC adalah kepengurusan ditingkat kecamatan atau daerah yang disamakan

5. Pengurus Ranting NU (PRNU)

Pengurus Ranting ialah kepengurusan NU ditingkat Desa/Kleurahan atau daerah yang disamakan.

C. SISTEM PERMUSYAWARATAN

Lembaga permusyawaratan NU meliputi :

1. 1. Muktamar

Lembaga permusyawaratan tertinggi dalam NU, diadakan selambat-lambatnya sekali dalam lima tahun, dilaksanakan oleh PBNU yang dihadiri oleh Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Cabang seluruh Indonesia, serta para ulama dan undangan dari tenaga ahlu yang berkompeten. Muktamar membahas persoalan-persoalan sosial dan agama, program pembangunan NU, laporan pertanggungjawaban Pengurus Besar, menetaptkan AD/ART, serta memilih penguru PBNU yang baru

1. 2. Musyawarah Nasional alim Ulama

Musyawarah alim ulama adalah musyawarah yang diselenggarakan para alim ulama oleh Pengurus Besar Syuriyah, satu kali dalam satu pereode untuk membahas masalah-masalah agama.

1. 3. Konfensi Besar

Konfrensi Besar dilaksanakan oleh pengurus Besar atas permintaan sekurang-kurangnya separoh dari jumlah pengurus Wilayah yang sah. Konfrensi Besar dilaksanakan untuk membahas keputusan muktamar, mengkaji perkembangan organisasi, dan membahas social keagamaan.

1. 4. Konfrensi Wilayah

Konfrensi Wilayah dilaksanakan lima tahun sekali yang dihadiri pengurus wilayah dan utusan-utusan cabang untuk membahas pertanggungjawaban pengurus Wilayah, menyusun program kerja, membahas masalah keagamaan dan social, serta memilih pengurus PWNU yang baru.

1. 5. Konfrensi Cabang

Konfrensi Cabang dilaksanakan lima tahun sekali yang dihadiri pengurus Cabang dan utusan dari Pengurus MWC dan Ranting untuk membahas pertanggungjawaban pengurus Cabang menyusun program kerja, membahas masalah keagamaan dan social, serta memilih PCNU yang baru.

1. 6. Konfrensi Majlis Wakil Cabang

Konfrensi MWC lima tahun sekali yang dihadiri pengurus MWC dan ranting, untuk membahas pertanggungjawaban pengurus MWC, menyusun program kerja, membahas masalah keagamaan dan social, serta memilih pengurus MWC yang baru.

1. 7. Rapat anggota

Rapat anggota dilaksanakan lima tahun sekali yang dihadiri pengurus ranting untuk membahas pertanggungjawaban pengurus Ranting, menyusun program kerja, membahas masalah keagamaan dan social, serta memilih pengurus PRNU yang baru.

D. PERANGKAT ORGANISASI NU

1. Lembaga

Perangkat organisasi yang berfungsi pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan satu bidang tertentu.

Adapun lembaga-lembaga NU meliputi :

- Lembaga Dakwah NU (LDNU)

- Lembaga Pendidikan Ma’arif NU (LP Ma’arif NU)

- Lembaga Sosial Mabarut NU (LSMNU)

- Lembaga Perekonomian NU (LPNU)

- Lembaga Pembangunan dan Pengembangan Pertanian (LP2NU)

- Rabithah Ma’ahid al Islamiah (RMI); Pengembangan bidang Pondok Pesantren

- Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU)

- Ha’iyah Ta’miril Masjid Indonesia (HTMI)

- Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM)

- Lembaga Seni Budaya NU (LSBNU)

- Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja NU (LPTKNU)

- Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum NU (LPBHNU)

- Lembaga Pencak Silat (LPS)

- Jam’yyah Qura wal Huffadz (JQH): Bidang Pengembanga Tilawah, Metode pengajaran dan penghafalan Al-qur’an.

2. Lajnah

Perangkat Organisasi NU untuk melaksanakan program yang memerlukan penanganan khusus. Lajnah NU meliputi:

- Lajnah Falakiyah: bertugas menangani Hisab dan Ru’yah

- Lajnah Ta’lif wa Nasyr: bertugas menangani penerjemah, penyusunan, dan penyebaran kitab-kitab.

- Lajnah Auqaf: bertugas menghimpun, mengurus, dan mengelola tanah serta bangunan yang diwaqafkan.

- Lajnah Zakat Infaq dan Shodaqoh: bertugas menghimpun, mengelola, dan mentsharafkan zakat, infaq dan sedekah.

- Lajnah Bahtul Masail Diniyah: bertugas menghimpun, membahas, dan memecahkan masalah-masalah yang maudlu’iyah dan waq’iyah yang segera mendapatkan kepastian hukum.

1. Badan Otonam

Perangkat organisasi NUyang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu, dan beranggotakan perseorangan. Badan otonom berhak mengatur kepengurusan dan rumah tangganya sendiri yang ditetapkan melalui kongres.

Badan Otonom dalam NU adalah:

- Jam’iyah Ahlit Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyah, Badan Otonom yang menghimpun pengikut thariqah di lingkungan NU

- Muslimat NU: Badan Otonom yang menghimpun anggota perempusn NU

- Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor): Badan Otonom yang menghimpun pemuda NU.

- Ikatan putra NU (IPNU): Badan Otonom yang menghimpun pelajar dan santri laki-laki.

- Ikatan Putra-putri NU (IPPNU): Badan Otonom yang menghimpun pelajar dan santri perempuan.

- Ikatan Sarjana NU (ISNU): Badan Otonom yang menghimpun para sarjana dan kaum intelek NU.

E. KEANGGOTAAN NU

Keanggotaan NU dapat diklasifikasi menjadi :

1. 1. Anggota Biasa

Setiap warga Negara Indonesia yang beragama Islam yang beragama Islam, menganut salah satu madzhab empat, baligh, mengetahui aqidah, asas, tujuan, usaha-usaha, dan sanggup melaksanakan semua keputusan NU.

1. 2. Anggota luar Biasa

Setiap orang beragama Islam, baliq, menyetujui akidah, asas, tujuan, usaha-usaha NU, namun yang bersangkutan berdomisili secara tetap di luar wilayah Indonesia.

1. 3. Anggota Kehormatan

Setiap orang yang bukan anggota biasa atau luar biasa yang dianggap telah berjasa kepada NU dan ditetapkan dalam keputusan pengurus besar.

SOAL LATIHAN BAB V

1. Kepengurusan NU yang bertugas memberi petunjuk, pembinaaan dan bimbingan dalam memahami dan mengamalkan serta mengembangakan paham Ahlusunnah wal Jamaah ialah …
A. Mutasyar D. Lajnah
B. Tanfidziyah E. Syuriyah
C. Badan Otonom

2. Salah satu tugas Tanfidziyah ialah ….

A. Melaksanakan program NU

B. Memberi nasehat kepada pengurus NU menurut tingkatanya

C. Mengendalikan, mengawasi dan memberi koreksi terhadap perangkat NU

D. Membimbing, mengarahkan, dan mengawasi Badan Otonom, Lembaga, dan Lajnah

E. Membatalkan keputusan apabila dinilai bertentangan dengan ajaran Islam

3. Perangkat organisasi NU yang bertugas untuk melaksanakan program NU yang memerlukan penanganan khusus adalah …
A. Lembaga D. Badan Otonom
B. Departemen E. Badan Usaha
C. Lajnah

4. Lembaga NU yang bertugas dalam bidang pengembangan sumberdaya manusia ialah …
A. LP2NU D. LAKPESDAM
B. RMI E. LPBHNU
C. LSBNU

5. Jam’yah Quro’ wal Hufadz adalah lembaga NU yang bertugas dalam bidang …

A. penyiaran agama Islam ala Ahlusunnah wal Jamaah

B. pengembangan tilawah, metode pengajaran dan penghafalan Al Qur’an

C. penyuluhan dan pemebrian bantuan hukum

D. pengembangan seni dan budaya

E. pembangunan dan pengembaga pertanian

6.

7. Pondok pesantren merupakan tulang punggung dalam pembanguna dan pengembangan NU, untuk itu dibentuk suatu lembaga yang bertugas menangani pengembangan Pondok Pesantren, yaitu …
A. LKKNU D. LP Ma’arif
B. LPTKNU E. LDNU
C. RMI

8. Dalam rangka meningkat mutu pendidikan , maka NU mendirikan lembaga pendidikan yang disebut …
A. Tarbiyyah D. Thoriqoh
B. Al ‘Ulum E. Lembaga Pendidikan
C. Ma’arif

9.

10. Lajnah Falakiyah bertugas mengurus masalah Hisab dan Ru’yah, yaitu masalah …
A. Perhitungan nishab Zakat D. perhitungan kalender Hijriyah
B. Penentuan orang yang berhak menerima ZIS E. perhitungan kalender Masehi
C. penentuan orang yang menerima Waqaf

11. Badan Otonom NU yang menghimpun para pelajar laki-laki dan perempuan ialah …
A. GP ANSOR, FATAYAT D. IPPNU, GP ANSOR
B. IPNU, GP ANSOR E. IPNU, IPPNU
C. IPNU, FATAYAT

12. Fatayat adalah badan otonom yang menghimpun …..
A. para perempuan muda D. para perempuan-perempuan NU
B. para perempuan muda yang masih pelajar E. kaum intelekdan sarjana NU
C. para perempuan muda dan mahasiswi

13. Kepengurusan organisasi NU yang bertanggung jawab terhadap pengendalian organisasi dan pelakanaan keputusan Muktamar ialah … .
A. Pengurus Cabang D. Pengurus Kecamatan
B. Pengurus Wilayah E. Pengurus Desa
C. Pengurus Besar

14. Kepengurusan NU ditingkat Kabupaten/Kota ialah … .
A. Pengurus Desa D. Pengurus Cabang
B. Pengurus Wilayah E. Pengurus Besar
C. Pengurus Kecamatan

15. Sesuai dengan system permusyawaratan NU, untuk memilih pengurus NU tingkat Propinsi maka harus dilaksanakan … .
A. Rapat anggota D. Muktamar
B. Konfrensi MWC E. konfrensi Wilayah
C. Konfrensi Cabang

16. Konfrensi yang diselenggarakan lima tahun sekali untuk memilih pengurus NU tingkat kecamatan disebut … .
A. Muktamar D. Konfrensi MWC
B. Konfrensi Wilayah E. Rapat anggota
C. Konfrensi Cabang

17. Anggota Luar biasa NU ialah … .

A. Setiap warga Negara Indonesia yang beragama Islam, baligh, menyetujui azas dan tujuan NU

B. Setiap orang yang beragama Islam, baligh, menyetujui azas dan tujuan NU

C. Setiap warga Negara Indonesia yang beragama Islam, baligh, menyetujui azas dan tujuan Pancasila

D. Setiap orang yang beragama Islam, baligh, menyetujui azas dan tujuan Pancasila

E. Setiap orang yang beragama Islam, baligh dan sudah berjasa kepada NU

BAB VI

PERANAN NU DALAM DINAMIKA

SEJARAH INDONESIA

1. 1. NU PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA

Pada awal pereode berdirinya, NU lebih mengutamakan pembentukan persatuan dikalangan umat Islam untuk melawan colonial belanda. Untuk mempersatukan umat islam, KH. Hasyim As’ary melontarkan ajakan untuk bersatu dan menhajukan prilaku moderat. Hal ini diwujudkan dalam sebuah konfederasi, Majlis Islam A’la Indonesia(MIAI) yang dibentuk pada tahun 1937.

Perjuangan NU diarahkan pada dua sasaran, yaitu : Pertama, NU mengarahkan perjuanganya pada upaya memperkuat aqidah dan amal ibadah ala ASWAJA disertai pengembangan persepsi keagamaan, terutama dalam masalah social, pendidikan, dan ekonomi. Kedua; Perjuangan NU diarahkan kepada kolonialisme Belanda dengan pola perjuangan yang bersifat cultural untuk mencapai kemerdekaan.

Selain itu, sebagai organisasi social keagamaan NU bersikap tegas terhadap kebijakan colonial Balanda yang merugikan agama dan umat Islam. Misalnya : NU menolak berpartisipasi dalam Milisia (wajib militer), menetang undang-undang perkawinan, masuk dalam lembaga semu Volksraad, dan lain-lain.

1. 2. NU PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG

Pada masa penjajahan Jepang semua organisasi pergerakan nasional dibekukan dan melarang seluruh aktivitasnya, termasuk NU. Bahkan KH. Hastim Asy’ary (Rois Akbar) dipenjarakan karena menolak penghormatan kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah timur pada waktu-waktu tertentu.

Mengantisipasi prilaku Jepang, NU melakukan serangkaian pembembenahan. Untuk urusan ke dalam diserahkan kepada KH. Nahrowi Thohir sedangkan urusan keluar dipercayakan kepada KH. Wahid Hasyim dan KH. Wahab Hasbullah. Program perjuangan diarahkan untuk memenuhi tiga sasaran utama, yaitu :

1. Menyelamatkan aqidah Islam dari faham Sintoisme, terutama ajaran Shikerei yang dipaksakan oleh Jepang.
2. Menanggulangi krisis ekonomi sebagai akibat perang Asia Timur
3. Bekerjasama dengan seluruh komponen Pergerakan Nasional untuk melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan.

Setelah itu, Jepang menyadari kesalahanya memperlakukan umat Islam dengan tidak adil. Beberapa organisasi Islam kemudian dicairkan pembekuanya. Untuk menggalang persatuan, pada bulan Oktober 1943 dibentuk federasi antar organisasi Islam yang diberi nama Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Pada bulan Agustus 1944 dibentuk Shumubu(Kantor Urusan Agama) untuk tingkat pusat, dan Shumuka untuk tingkat daerah.

1. 3. NU PADA MASA KEMERDEKAAN

Pada tanggal 7 September 1944 Jepang mengalami kekalahan perang Asia Timur, sehingga pemerintah jepang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Untuk itu dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI berangggotakan 62 orang yang diantaranya adalah tokoh NU (KH. Wahid Hasyim dan KH. Masykur).

Materi pokok dalam diskusi-diskusi BPUPKI ialah tentang dasar dan bentuk Negara. Begitu rumitnya pembahasan tentang dasar dan falsafah Negara makadi sepakati dibentuk “Panitia Sembilan”. Dalam panitia kecil ini NU diwakili oleh KH. Wahid Hasyim, hasilnya disepakati pada dasar Negara mengenai “Ketuhanan” ditambah dengan kalimat “Dengan kewajiaban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya”. Keputusan ini dikenal dengan “Piagam Jakarta”.

Sehari setelah Indonesia merdeka, Moh Hatta memanggil empat tokoh muslim untuk menanggapi usulan keberatan masyarkat non muslim tentang dimuatnya Piagam Jakarta dalam pembukaan UUD 1945. Demi menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, KH. Wahid Hasyim mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Kata “Esa” berarti keesaan Tuhan (Tauhid) yang ada hanya dalam agama Islam, dan usul ini diterima.

Pada 16 September 1945 tentara Belanda (NICA) tiba kembali di Indonesia dengan tujuan ingin kembali menguasai Indonesia. Melihat ancaman tersebut, NU segera mengundang para utusan dan pengurus seluruh Jawa dan madura dalam sidang Pleno Pengurus Besar pada 22 Oktober 1945. Pada rapat tersebut dikeluarkan “Resulusi Jihad” yang secara garis besar berisi :

1. Kemerdekaqan Indonesia wajib dipertahankan
2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dibela dan diselamatkan.
3. Musuh RI , terutama Belanda pasti akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
4. Umat Islam terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawanya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
5. Kewajiban Jihad tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban bagi setiap muslim (Hukumnya fardlu ‘Ain).

Resulusi Jihad ini benar-benar menjadi inspirasi bagi berkobarnya semangat juang Arek-Arek Surabaya dalamperistiwa 10 November 1945 yang dikenal dengan”Hari Pahlawan”.

1. 4. NU DALAM MENGISI KEMERDEKAAN

Setelah Proklamasi kemerdekaan, hamper semua organisasi Islam sepakat menjadikan MASYUMI sebagai partai politik, termasuk NU. Namun pada tahun 1950 NU memutuska untuk keluar dari MASYUMI karena terjadi konflik intern. Pada Muktamar NU ke -19 di Palembang 1952 memutuskan menjadi Partai Politik, dengan demikian NU memasuki dunia politik secara otonom dan terlubat langsung dalam persoalan-persoalan Negara. Untuk melapangkan jalan di dunia polotik, NU masuk dalam kabinet Ali Sastro Amijoyo, seperti KH. Zainul arifin (wakil perdana mentri), KH.Masykur (menteri Agama), begitu pula dengan susunan kabinet yang lain .Pada tahun 1955 diadakan pemilu yang pertama diIndonesia, NU mampu meraih suara terbanyak ketiga setelah PNI dan PKI. Hal ini tidak lepas dari peran Kyai dan Pesantren sebagai kekuatan pokok NU.

Pada pereode 1960-1966 NU tampil menjadi kekuatan yang melawan komunisme, hal ini dilakukan dengan membentuk beberapa organisasi, seperti : Banser (Barisan Ansor Serba Guna), Lesbumi (lembaga Seni Budaya Muslim), Pertanu (Persatuan Petani NU), dan lain-lain. Pada tanggal 5 Oktober 1965 NU menuntut pembubaran PKI .

SOAL LATIHAN BAB VI

1. Sebagai salah satu sikap perjuangan NU melawan pemerintahan kolonial Belanda adalah ….

1. Menolak berpartispasi dalam wajib militer
2. Mendirikan partai politk untuk melawan Belanda
3. Mengadakan perang gerilya
4. Menuntut adanya pemilihan umum untuk memilih presiden
5. Menolak kedatangan Jepang

2. Pada bulan oktober 1943 dibentuk federasi antar organisasi-organisasi Islam guna menggalang persatuan kaum muslimin Indonesia untuk melawan Jepang, yaitu …
A. MASYUMI D. SARIKAT ISLAM
B. MUHAMMADIYAH E. MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI)
C. NAHDALTUL ‘ULAMA

3. Tokoh NU yang ikut dalam anggota BPUPK adalah ….

1. KH. A. Wahab Hasbullah dan KH.A. Wahid Hasyim
2. KH. Hasyim As’ary dan KH. Masykur
3. KH. A. Wahab Hasbullah dan KH. Hasyim As’ary
4. KH.A. Wahid Hasyim dan KH. Masykur
5. KH. A. Wahab Hasbullah dan KH. Masykur

MATERI TAMBAHAN :

Mata Pelajaran : ASWAJA/Ke-NU-an

Kelas : I (X) SMA/SMK

1. KEPENGURUSAN NU

Kepengurusan NU terdiri dari dua bagian, yaitu SYURIAH (ROIS ‘AMM) dan TANFIDZIYAH.

Syuriyah merupakan pemimpin tertinggi NU yang berfungsimembina, membimbing, mengarahakan, dan mengawasi kegiatan Jam’iyah. Sedangkan Tanfidziyah merupakan pelaksana sehari-hari.

Tugas-tugas Syuriyah :

1. Setiap awal tahun hijriyah memberikan pengarahan dalam rapat pleno penyusunan program tahunan.
2. Setiap akhir athun hijriyah menerima laporan kerja.
3. Memberikan tegura, saran dan bimbingan kepada seluruh perangkat Jam’iyah
4. Berhak embatalkan keputusan atau kebijakan organisasi yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam
5. Membina, mengembangkan dan menyiarkan kehidupan beragama khususnya bagi warga NU danumumnya umat Islam.
6. Sekurang-kurangnya setahun sekali menerbitkan tulisan bersifat keagamaan
7. Menyelenggarakan musyawarah ulama.

Tugas-tugas Tanfidziyah :

1. Mengusahakan kemajuan Jam’iyah
2. Menggerakkan dan mengelola pelaksanaan program Jam’iyah
3. Melaporkan pelaksanaan tugas harian kepada Syuriyah
4. Ketua umum Tanfidziyah ditingkat pusat sedangkan ketua Tanfidziyah ditingkat Wilayah dan Cabang, karena jabatabya menjadi pengurus syuriyah.

1. 2. PERMUSYAWARATAN DALAM NU

Lembaga permusyawaratan NU meliputi :

1. RAPAT ANGGOTA

Lembaga permusyawaratan ditingkat ranting (Desa), diadakan selambat-lambatnya sekali dalam dua tahun. Kepengurusan ditingkat Ranting (Desa) disebut PRNU

1. KONFERENSI MAJLIS WAKIL CABANG

Lembaga permusyawaratan ditingkat MWC (majlis wakil cabang), diadakan selambat-lambatnya sekali dalam dua tahun. Kepengurusan ditingkat wakil cabang (Kecamatan) disebut PACNU

1. KONFERENSI CABANG

Lembaga permusyawaratan ditingkat Cabang (Kabupaten), diadakan selambat-lambatnya sekali dalam tiga tahun. Kepengurusan ditingkat Cabang (Kabupaten) disebut PCNU

1. KONFERENSI WILAYAH

Lembaga permusyawaratan ditingkat Wilayah (Propinsi), diadakan selambat-lambatnya sekali dalam empat tahun. Kepengurusan ditingkat Wilayah (Propinsi) disebut PWNU

1. MUKTAMAR

Lembaga permusyawaratan tertinggi dalam NU, diadakan selambat-lambatnya sekali dalam lima tahun, untuk memilih pengurus besar NU yang baru. Kepengurusan ditingkat Pusat disebut PBNU

1. 3. LAMBANG NU

Lambang NU adalah gambar bola dunia yang diikat dengan tali dan dikelilingi oleh sembilan bintang. Lambang tersebut adalah ide yang diberikan oleh KH. RIDLWAN dari Surabaya, setelah beliau melakukan shalat Istikharah.

1. 4. SEJARAH BERDIRINYA NU

Pada tahun 1914 KH. Abdul Wahab Hasbullah pulang dari Mekkah setelah bertahun-tahun belajar di sana. Beliau mempunyai cita-cita untuk mempersatukan umat Islam dalm suatu perkumpulan / organisasi keagamaan.

Oleh karena itu, guna memulai usahanya beliau mendirikan forum diskusi dan kursus keagamaan yang dianmakan “TASHIRUL AFKAR”. Setelah itu bersama denagn KH. Mas Manhur mendirikan organisasi “Jam’iyatul Nahdlotul Wathon “. Organisasi in berkembang dengan pesat dan mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda pada tahun 1916. Selain itu berdiri pula organisasi “Syubhanul Wathon (pemuda tanah air) pada tahun 1925.

Akhirnya pada tanggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 KH. A. Wahab Hasbullah membentuk suatu komite yang bernama Komite Hijaz yang beranggotakan para alim ulama dari berbagai daerah. Dalam rapat komite tersebutmemutuska beberapa hal, diantaranya “membentuk suatu organisasi atau Jam’iyah yang bernama NAHDLATUL ULAMA’.” Nama Nahdlatul Ulama’ adalah usulan dri KHM. Alwi Abdul Aziz.

Adapun tokoh besar pengurus NU ialah :

- KH. Hsyim Asy’ari

- KH. Abdul Wahab Hasbullah

- KH.Bisyri Sansoeri
MATERI TAMBAHAN :

Mata Pelajaran : ASWAJA/Ke-NU-an

Kelas : I (X) SMA/SMK
PRILAKU WARGA NU
A. PRILAKU KEAGAMAAN

1. Bidang Aqidah:

- Keseimbangan dalam penggunaan dalil Aqli dan Naqli.

- Manusia wajib beusaha sedangkan Allah yang menentukan hasilnya.

1. Bidang Syariah

- Al Qur’an dan As Sunnah adalah sumber utama dalam menetapkan hukum syariah.

- Bila sudah ada dalil yang jelas (sharih) dan pasti (Qath’I) waji9b dilaksanakan dengan sungguh-sungguh

- Mentolelir adanya perbedaan pendapatdalam masalah furu’iyah dan mu’amalah.

1. Bidang Tasawuf

- Tasawuf adalah inti sari pengamalan dan penghayatan ajaran agama dalam rangka mancapai hakekat kebenaran.

- Tasawuf memberikan motivasiuntuk selalu dinamis.

- Inti ajaran Tasawuf adalah penyucian hati dan pembentukan sikap mental dalam menghambakan diri kepada Allah.
B. PRILAKU KEMASYARAKATAN

1. Menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam
2. Mendahulukan kepentingan bersama ari pada kepentingan pribadi
3. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dalam berhikmad dan berjuang
4. mengusahakan terwujudnya persaudaraan (Ukhuwah, persatuan (Ittihad), dan saling mengasihi ( Taharum)

C. PRILAKU EKONOMI

1. As Shidqu ; kejujuran, kesungguhan dan keterbukaan
2. Al Amanah wal Wafa Bil’ahd : dapt dipercaya, setia, tepat janji
3. Al Adalah : adil, obyektif, proporsional dan taat asas.

D. PRILAKU POLITIK

1. Demokratis
2. Konstitusional
3. Taat hukum
4. mengembangkan musyawarah dan mufakat
5. Humanisme relegius (Insaniyah-Diniyah) : peduli dengan nilai kemanusiaan yang agamais
6. Terbuka baik dalam lintas agama, suku, ras, dan golongan.

E. PRILAKU BUDAYA

1. Proprosional Normatif: masalah kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar
2. Obyektif dan Selektif
3. Elastis

F. PRILAKUSEBAGAI ANGGOTA ORGANISASI NU

Ada lima hal sikap prilaku warga NU dalam berorganisasi (Panca Gerakan Idiologi), yaitu :

1. Ats Tsaqifah bi NU : Yakin dan percaya sepenuhnya terhadap NU
2. Al Ma’arif wal Istiqon bi NU : bisa memberi bobot ilmiah terhadap NU dengan sungguh-sungguh
3. Al Amal bi Ta’limi NU : Istiqomah dan konsisten dalm mempraktekkan ajaran dan tuntunan NU
4. Al Jihad fi Sabili NU ; selalu bersemangat dalam memperjuangkan NU
5. Ash Sabr fi Sabili NU : sabar, tangguh, dan tabah dalam ber-NU.

Senin, 22 November 2010

KH. HASYIM ASY'ARI

Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari
( Pendiri Nahdlatul Ulama )


Kelahiran pendiri NU

Sebelum lahir, tanda-tanda khoriqul ‘addah telah tampak pada jabang bayi Hadratus Syekh. Beliau berada dalam kandungan sang ibu selama 14 bulan. Masyarakat Jawa kala itu memiliki keyakinan bahwa masa kandungan yang panjang mengindikasikan kecemerlangan sang bayi di masa depan. Sang ibu lebih yakin akan isyarat ini, karena dirinya pernah bermimpi melihat bulan purnama jatuh dari langit tepat mengenai perutnya yang sedang mengandung. Ketika mimpi ini diceritakan kepada sang suami, beliau tidak tahu persis apa yang akan terjadi. Namun beliau pernah mendengar bahwa mimpi semacam ini merupakan pertanda anugerah dari Allah SWT. Pada masa mengandung pula, Nyai Halimah menjalankan berbagai macam tirakat sebagi jembatan mendekatkan diri kepada Sang Kholik. Beliau senantiasa berpuasa di sepanjang hari, shalat malam tanpa henti serta tak lupa membaca Al-qur’an.

Suatu hari, ketika sedang menampi beras, Ny Halimah mendapati berasnya berubah wujud menjadi emas. Lantas beliau bergegas melaksanakan shalat dhuha. Setelah shalat beliau berdoa: “Ya Allah, Saya tidak meminta harta. Saya hanya meminta kepadamu agar anak keturunan saya menjadi orang-otrang yang baik dan berguna bagi agama-Mu”

Pada Hari Selasa Kliwon tangal 14 Februari 1871 M, yang bertepatan dengan 24 Dzulqo’dah 1287 H bayi yang ditunggu-tunggu ini akhirnya lahir dengan membawa suasana gembira di Pondok Gedang, sebuah pondok yang masyhur kala itu, terletak di Desa Tambak rejo – 2 km dari kota Jombang. Bayi istimewa itu, kemudian diberi nama Muhammad Hasyim. Kelak beliau terkenal dengan nama Muhammad Hasyim Asy’ari. Nama yang dibelakang ini adalah nama ayahnya, Kiai Asy’ari.

Dikisahkan, dukun kandungan yang membantu kelahiran bayi Hasyim ini tercengang heran melihat proses babaran yang begitu lancar. Setelah mengamati wajah si bayi, dukun itu meramalkan kelak ia akan menjadi the founding father -pemimpin dan panutan seluruh ummat. Selain itu ia juga meramalkan kalau bayi itu kerap menjadi pengantin baru. Ramalan sang dukun ternyata tidak meleset. Perjalanan hidup Hadratus Syekh penuh dengan berbagai kesibukan, mulai urusan nasionalis hingga religius . Di sela-sela perjelanan hidup beliau pula untuk sekian kalinya beliau menikah.


Garis Nasab

Sudah menjadi sunnatullah, dimana orang yang baik menunjukkan nasabnya juga baik. Tak terkecuali Hadratus Syekh, bila ditarik ke atas nasab beliau akan bersambung dengan Nabi Muhmmad SAW, lewat Maulana Ishaq. Berikut rekapannya;

KH.M.Hasyim Asy’ari Tebuireng bin KH.M.Asy’ari Keras bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdurrahman (Joko Tingkir) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq (Ayah Sunan Giri) bin Ibrahim Asmoro (Palang Tuban) bin Jamaluddin Akbar al-Husaini bin Ahmad Jalaludin Syah bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Muhajir bin Alawi Hadramaut bin Muhammad Shahibu Marbat bin Ali Choli’ Qosan bin Alawi Muhammad bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Al-basri bin Muhammad An-naqib bin Ali Uraidli bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Sayyidah Fatimah binti Rasulullah Muhammad SAW. [1]

Ibunya, Nyai Halimah, adalah putri dari pasangan Kiai Utsman dan Nyai Layinah. Kiai utsman adalah pendiri pondok pesantren yang terletak di sebelah selatan pondok Gedang. Karena beliau ahli thoriqat, maka pondok beliau ini masyhur akan ilmu thariqatnya. Ayah Nyai Layinah bernama Kiai Abdus Salam yang dikenal dengan gelar Kiai Sihah. Konon gelar itu diberikan karena kesaktian beliau ketika membentak musuh akan berakibat lumpuh tanpa daya. Kata “Sihah” diambil dari bahasa Arab “Shaihah” yang bermakna “bentakan yang menggeledek”. Pada tahun 1938, beliau mendirikan pondok Gedang. Dari pondok inilah lahir ulama’-ulama ternama pada masanya. [2]

Hadratus Syekh juga sepupu KH. Wahhab Hasbullah. Ayahnya bernama Kiai Hasbullah, putra dari Nyai Fatimah yang tak lain adalah saudara kandung nyai Layyinah.

Ayah Hadratus Syekh bernama Kiai Muhammad Asy’ari, seorang ulama’ tangguh berasal dari Gubug, Purwodadi Jawa tengah. Beliau adalah keturunan kelima Abdurrohman alias Joko tingkir. Menuntut ilmu ke berbagi pondok pesantren diantaranya Demak, Kudus, Jombang. Kemudian, tepatnya di desa Keras beliau mendirikan pondok pesantren dan Masjid sebagai pusat pembelajaran serta peribadatan masyarakat sekitar. Dan di sanalah beliau dimakamkan. Menurut keyakinan masyarakat, tanah makam Kiai asy’ari dapat digunakan untuk pengobatan.

Rihlah Ilmiyah

Ketika usianya mencapai delapan tahun, Hasyim kecil menerima didikan dari sang Ayah hingga usianya 13 tahun. Sebelumnya ia telah dididik oleh kakeknya di pesantren Gedang.

Ketika usinya telah genap 15 tahun, dengan disertai doa dan restu orang tuanya, Hasyim memulai mengembara thalabul ilmu di pondok pesantren di tanah Jawa. Diantara Pondok yang pernah beliau singgahi adalah; Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan, Langitan Tuban, Tenggilis Surabaya, ponodok Siwalan Panji Sidoarjo, lalu di pondok yang paling masyhur kala itu, asuhan Syaikhona Khalil di Demangan Bangkalan Madura.

Beliau masih belum puas dengan apa yang telah didapatnya dari pesanten di Jawa. Maka kemudian sekitar tahun 1892 M. beliau pergi mekkah untuk memperdalam ilmu disana. Diantara gurunya ialah; Syekh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfudzh At-Turmusi, dan Syekh Khatib Minagkabau, Syekh Ahmad Amin At-Ththar, Syekh Ibrohm Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmatulah dan Syekh Bafaddhal, Sayyid Abbas Al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim Ad-Dagistani, Sayyid Abdullah Az-Zawawi, Sayyid Ahmad Bin Hasan Al-Athas, Sayyid Alwi Bin As-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, Sayyid Husain Al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah.

Di sana beliau juga berguru pada ulama’ asal nusantara yang sangat masyhur di tanah Arab. Mereka itu ialah; Syekh Muhammad Nawawi, asal Banten, Syekh Ahmad Khathib Asal Minangkabau, Syekh Mahfudz asal Tremas, Syekh Abdus Syakur, asal Surabaya dll. Dari Syekh Mahfudz At-termasi, beliau mendapatkan ijazah sanad kitab-kitab hadits, yang kelak menjadikannya sebagi ulama pertama yang mengajarkan kitab hadits di tanah Jawa. Berikut sanad kitab shahih bukhori;

Syekh Muhammad Hasyim Asy’ary al-jumbani dari Syekh Muhammad Mahfudz ibn Abdullah At-termasi dari gurunya Syekh sayid abi bakr bin Muhammad Syata al-Makki dari Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dari Syekh ‘Utsman bin hasan ad-dimyathi dari Syekh Muhammad bin ‘Ali as-syanwani dari Syekh ‘Isa bin Ahmad Al-barawy dari Syekh Ahmad ad-dafry dari Syekh Salim bin Andullah al-Bishri dari Ayahnya Syekh abdullah bin salim al-bishry dari Syekh Muhammad bin A’lauddin al-babily dari Syekh Salim bin ahmad as-sanhuri dari Syekh an-njm Muhammad bin Ahmad al-Ghaithi dari Syekh al-islam zakariya bin Muhammad al-anshary dari Syekh al-hafidz Ahmad bin ‘Ali bin hajar al-asqalany dari Syekh Ibrahim bun Ah,mad at-tanukhy dari Syekh Abi al-abbas Ahmad bin Abi Thalib al-hijar dari Syekh al-husain bin al-Mubarak az-Zaibidi al-hanbaly dari Syekh Abi al-waqt Abdl Awwal bin ‘Isa as-sajazy dari Syekh abi al-husain abdl rahman bin mudzaffar bin Dawud ad-dawudy dari Syekh abi Muhannad Abdullah bin Ahnad as-sarkhasy dari Abi Abdullah bin Muhammad bin Yusuf al-faribary dari sang pengarangnya al-imam Abi Abdullah Muahammad bin ‘Ismail al-Bukhary bin Ibrahim bin al-Mughirah bin bardazabah rahimahullah wa nafa’ana bihi wa bi ‘ulumihi Amin[4]

Bersama teman-temannya di mekkah –yang berasal dari Afrika, Asia Selatan, Asia tengah, dan Arab-mereka pernah berikrar di depan multazam. Tepatnya pada malam bulan Ramadhan yang penuh berkah. “Demi Allah kami akan melakukan perjuangan di jalan-Mu untuk menjunjung kalimat Islam, mempersatukan umat, dengan menyebarkan ilmu dan kesadaran. Serta memperdalam agama demi mendapatkan ridha-Mu tanpa mengharapkan harta, kedudukan, ataupun jabatan bagi diri sendiri.”

Tebuireng sebagai Qiblatnya Pesantren

“Menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia. Kalau manusia itu sudah baik, lantas apalagi yang perlu diperbaiki. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan. Contoh-contoh ini telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dalam berjuang.”

Pernyataan tersebut pernah dikemukakan oleh Hadratus Syekh dalam rangka menegaskan tekadnya untuk mendirikan pesantren di Tebuireng. Mula-mula keinginan Kiai Hasyim ini tidak disetujui oleh kawan-kawan sesama kyainya. Sebab kala itu desa Tebuireng adalah desa yang sudah amat parah akan kemungkarannya. Dimana perzinaan, perjudian, taruhan, perampokan, mabuk-mabukan dan adu ayam sudah menjadi kebiasanna masyarakat Tebuireng.

Langkah awal Kiai Hasyim untuk mendirikan pondok ialah membeli sebidang tanah milik seorang dalang ternama di desa Tebuireng, tepatnya pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H (sekitar tahun 1899 M). Lalu untuk banguanan awal beliau mendirikan sebuah teratak bambu yang luasnya hanya sekitar 10 meter peresegi. Teratak ini terbagi atas dua buah petak rumah. Separuh untuk tempat tinggal Kyai Hasyim dan keluarga, sepetak lagi digunakan sebagai tempat mengaji dan dan beribadah para santri. Santri generasi awal tercatat hanya 8 orang. Kemudian dalam tempo tiga bulan, jumlah santri bertambah menjadi 28 orang.

Setelah berhasil mendirikan pondok di desa Tebuireng, seperti lazimnya pesantren kala itu. Kiai Hasyim tidak memberi nama lain untuk pondoknya tersebut. Beliau lebih memilih nama pondoknya adalah nama desa itu sendiri, yakni Tebuireng. Hal ini seperti kasus pondok Tambakberas, Sidosermo, Bloagung, Tegalsari, Pabelan, Langitan, Krapyak, Lirboyo, Maskumambang, Lasem, Sarang, Sidogiri, dll. Sang pendiri tak memberi nama lain kecuali nama dimana pondok itu berdiri.

Ada tiga versi mengapa desa tersebut dinamakan Tebuireng. Versi pertama mengatakan; desa Tebuireng pada asalnya bernama kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, di daearah tersebut ada seeokor kerbau yang terendam di dalam lumpur. Di dalam lumpur tersebut terdapat banyak lintah. Ketika ditarik menuju daratan, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.

Versi kedua; nama Tebuireng diambil dari nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam yang berdomisili di sana. Versi ketiga; di sekitar desa tersebut memang tumbuh banyak pohon tebu yang berwarna hitam. Hingga karena saking banyaknya, pemerintah Belanda mendirikan pabrik gula di Cukir, dekat Tebuireng.

Namun demikian, kedatangan Kiai Hasyim di Tebuireng bukan berarti masyarakat setempat menerima dengan baik. Berbagai gangguan dan rintangan telah mengancam beliau dan para santri. Saban malam mereka harus berjaga, sebab kalau tidak nyawa akan melayang terkena tusukan benda tajam dari masyarakat.

Melihat peristiwa seperti ini, Kiai Hasyim berusaha keras untuk mengamankan situasi. Beliau meminta bantuan kepada para kiai di Cirebon yang terkenal akan keampuhannya itu. Mereka itu ialah; Kiai Sholeh Benda, Kiai Abdullah Pangurangan, Kiai Syansuri Wanantara, Kiai Abdul Jamil Buntet, dan Kiai Abbas. Selama kehadiran lima Kiai tersebut, tratak yang merupakan cikal bakal pondok Tebuireng menjadi tempat pelatihan silat dan ilmu hikmah lainnya. Guna sebagai bekal menghadapi para musuh yang kian lama semakin menjadi-jadi.

Kerja kerasnya tak sia-sia, musuh yang terhimpun dari para preman dan geng desa Tebuireng tunduk takluk di hadapan Kiai Hasyim. Bahkan diantara mereka ada yang minta diajarkan ilmu beladiri dan ilmu hikmah. Bahkan tak sedikit pula yang menjadi murid Kiai Hasyim. Belajar, mengaji dan beribadah di dalam tratak kecil itu.

Keberadaan pondok Tebuireng semakin diakui oleh masayarakat luas. Bukan hanya Tebuireng dan Jombang saja. Banyak orang-orang dari berbagai daerah ikut mondok, menuntut ilmu kepada Kiai Hasyim. Tercatat pada tahun 1915-an, santri Tebuireng telah mencapai 2.000 santri yang berasal dari berbagai penjuru tanah air. Pondok Pesantren Tebuireng mendapat pengakuan resmi oleh pemerintah belanda pada 6 Pebruari 1907.

Pada zaman belanda, Tebuireng tak lepas dari gangguan. Bahkan suatu ketika tentara belanda menghancurkan dan mengobrak-abrik isi pondok. Banyak bangunan yang dibakar. Kitab-kitab yang mereka gunakan mengaji juga dibakar. Kejadian ini bermula, karena Belanda tidak senang akan Kiai Hasyim yang sangat berpengaruh waktu itu. Berbagai macam tuduhan dan fitnah terus dilontarkan, hingga terjadi kerusuhan besar-besaran antara santri dan kolonial.

Kiai Hasyim menanggapi peristiwa ini dengan memberi dorongan kepada santri: “Kejadian ini justru menambah semangat kita untuk terus berjuang menegakkan Islam dan kemerdekaan yang hakiki”.

Kabar yang terjadi di Tebuireng terdengar oleh banyak pesantren di Jawa. Mereka turut menyumbangkan bantuan dan sumbangan untuk Tebuireng. Sehingga dalam waktu sekitar 8 bulan, Tebuireng bangkit seperti sedia kala. Nama Tebuireng semakin terkenal, para santri yang datang untuk mengaji pun bertambah banyak.

Ad-Da’wah Bil Qalam

Tampaknya tidak ada orang yang tak mengenali siapa KH M. Hasyim Asy’ari. Perjuangannya hingga kini masih terasa, diantaranya peninggalan beliau yang berupa organisasi Islam terbesar yang beliau dirikan pada 1926 dengan nama “Nahdhatul Ulama”. Tetapi sedikit sekali dari mereka yang mengetahui bahwa KH Hasyim Asy’ari ternyata seorang ulama yang produktif menulis. Telah banyak kitab-kitab beliau yang terbit, dan setiap tahunnya pun dikaji dimana-mana.

Waktu yang digunakan KH. Hasyim Asy’ari untuk menulis biasanya adalah pagi hari diantara jam 10.00 sampai menjelang dhuhur. Selain untuk menulis, waktu ini biasanya beliau gunakan untuk istirahat, membaca kitab dan menerima tamu yang setiap harinya berkisar 50 tamu.

Tulisan beliau beragam, ada yang menerangkan agama, aqidah, syari’ah, fiqh, hadits, hubungan sesama manusia, politik, etika, sejarah dan sebagainya. Kitab yang beliau tulis merupakan pengalaman yang pernah beliau alami. Seperti kitab at-tanbihat al-wajibat, adalah sebuah kitab yang berisikan pengalaman beliau atas perayaan maulid yang dicampuri dengan berbagai macam kemungkaran. Peristiwa ini terjadi ketika beliau pergi ke Sewulan Madiun pada 1355 H. Ada juga kitab beliau yang berjudul ziyadah at-ta’liqot, isinya adalah perdebatan/ikhtilaf beliau dengan Abdullah bin Yasin Pasuruan yang menolak amaliyah NU.

Beliau juga sering mengisi kolom pada majalah dan surat kabar pada waktu itu, seperti, Panji Masjarakat, Soeara Masjoemi, dan Swara Nahdhotul Oelama’. Tulisan beliau biasanya berbentuk artikel, fatwa, ceramah dan jawaban atas pertanyaan para pembaca (beliau sebagai pengasuh rubrik tanya jawab masalah fiqhiyah ).

Sangatlah sulit untuk dibayangkan, betapa sibuknya beliau sebagai pengasuh pesantren, pemimpin NU, ketua Ormas, Penasehat, Pembimbing para pejuang Pembela anah air, menyempatkan diri unuk menulis. Sungguh sebuah semangat yang jarang dimilki oleh kebanyakan kiai.

Untuk membudayakan tradisi tulis menulis di kalangan warga NU, bersama KH Abdul Wahab Hasbullah, beliau mendirikan majalah NU dengan nama “Soeara Nahdhotoel Oelama”. Edisi perdananya terbit pada 1 Shafar 1346 /1930 (empat tahun setelah NU didirikan). Selain berisikan informasi penting tentang laju perkembangan NU, di dalamnya juga terdapat berita-berita aktual seputar nasional. Majalah ini memiliki ciri khas yang tak dijumpai majalah lainnya, yakni bertuliskan Jawa pegon (bahasa jawa yang ditulis dengan huruf hijaiyah). Atas prakarsa beliau inilah, kini telah beredar banyak majalah NU di Nusantara hingga menjadikan generasi muda NU gemar untuk tulis menulis.

Adapun karya-karya Hadratus syekh yang dapat di telusuri dan dinikmati hingga saat ini diantaranya ialah:

1. Al-Tibyan fi an-nahy ‘an muqathaah al-arham wa al-aqarib wa al-ikhwan. Penjelasan dalam melarang memutus silaturrahim sanak famili, kerabat dan saudara.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan hukum pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’
3. Risalah fi ta’kid al-akhdz bimadzhab al-aimmah al-arba’ah. Risalah yang menerangkan memperkuat berpegang teguh atas madzhab empat.
4. Mawaidz. Beberapa Nashihat.
5. Arba’in haditsan tata’alliq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar Nahdhatul Ulama’

Kelima kitab Hadratus syekh di atas yaitu,at-tibyan, al-qanun al-asasy, risalah, dan arbain dikumpulkan menjadi satu kitab yang diatasnya diberi judul besar AT-TIBYAN berjumlah 41 halaman.

1. An-Nur al-Mubin fi mahabbah sayyid al-mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul.
2. At-Tanbihat al- Wajibatliman yashna’ al-maulid bi al-munkarat. Peringatan-peringatan wajib untuk orang yang mengadakan kegiatan maulid dicampuri dengan kemungkaran
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi hadits al-mauta wa syrat as-sa’ah wa bayan mafhum as-sunnah wa al-bid’ah. Risalah ahli sunnah wal jama’ah menerangkan tentang hadits-hadits yang menjelaskan kematian serta tanda-tanda hari qiyamat dan menjelaskan kefahaman sunnah dan bid’ah.
4. Ziyadah Ta’liqat a’la mandzumah as-Syekh ‘abdullah bin yasin al-fasuruani . Tambahan yang berhubungan atas nadzm syekh abdullah bin yasin Fasuruan.
5. Dhu’ul Misbah fi bayan ahkam an-nikah. sebuah Cahaya yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah.
6. Ad-Durosul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah.
7. Hasyiyah ‘ala Fath ar-rahman bi syarah risalah al-wali ruslan li Syekh al-islam Zakariya al-anshari. Komentar atas kitab fath ar-rahman penjelas kitab risah al-wali ruslan karya Syekh al-islam Zakariya al-anshari.
8. Ar-rsalah at-tauhidiyah. Risalah tauhid.
9. Al-qalaid fi bayani ma yajib min al-aqaid.
10. Ar-risalah al-jama’ah.[2]
11. Ar-risalah fi al -’aqaid. Menerangkan aqidah
12. Ar-risalah fi at-tasawwuf. Menerangkan tentang ilmu tashawwuf
13. Adab al-‘Alim Wa al-Muta’allim fima yahtaju ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limih wa ma yatawaqqaf ‘alaih al-muallim fi maqat ta’limih .Sopan santun orang yang alim dan pelajar

Dari sekian banyaknya karya Hadratus Syekh, kitab adalah yang paling fenomenal. Menjadi salah satu bidang study di berbagai lembaga pendidikan. Juga sering dijadikan bahan pembahsan mahasiswa dalam membuat tesis atau skripsi.

Di samping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikan Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.

Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadu domba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapi oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.

Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian dianulir dengan keputusan Muktamar Situbondo yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitthohnya.

Dari Komite Hijaz hingga Pendirian NU

Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang biasa disebut Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan.

Di kalangan pesantren muncul pula organisasi-organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar ini adalah tokoh muda, KH Abdul Wahhab Hasbullah (pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid Hadratus syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial dan politik.

Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia, karena dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka KH. Hasyim Asy’ari bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan sama, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia Islam atas rencana Raja Ibnu Saud tersebut, sehingga rencana itupun digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Tahun 1924, kelompok diskusi taswirul afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya tentang rencana tersebut, meminta waktu untuk mengerjakan shalat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Namun dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum juga datang. Kiai Hasyim Asy’ari sangat gelisah. Dalam hati kecilnya beliau ingin berjumpa dan membicarakan hal itu kepada gurunya, KH Khalil bin Abdul Latif, Bangkalan.

Sementara nun jauh di sana, tepatnya di Bangkalan Madura, Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami KH. M. Hasyim Asy’ari. Kiai Khalil kemudian mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada KH. M. Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada KH. M. Hasyim Asy’ari.

Ketika KH. M. Hasyim Asy’ari menerima kedatangan pemuda As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.

Waktu terus berjalan dan pendirian organisasi tersebut belum juga terealisasi. Agaknya KH. M. Hasyim Asy’ari masih menunggu kemantapan hati untuk mendirikan organisasi itu. Sampai suatu ketika, tepatnya pada tahun 1925, pemuda As’ad kembali lagi menemui Hadratus Syeikh.

”Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda As’ad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Khoili di lehernya. As’ad belum pernah menyentuh tasbih tersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tasbihnya akan tersentuh. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.

”Kiai Khalil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahar di setiap waktu,” tambah As’ad.

Kehadiran As’ad yang kedua kalinya ini membuat hati Hadratus Syekh semakain mantap. Hadratus Syekh bisa menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan jika kelak ia bersama kawan-kawannya mendirikan sebuah organisai/jam’iyah. KH. M. Hasyim Asy’ari menganggap bahwa inilah jawaban yang dinanti-nanti melalui salat istikharahnya. Namun sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.

Akhirnya, pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M, organisasi itu telah lahir dengan nama jam’iyah Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. KH. M. Hasyim Asy’ari dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di dunia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarkan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran para madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Semangat Abduh ini mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang telah belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kiai Hasyim pada prinsipnya menerima ide-ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi beliau menolak pemikiran Abduh agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatannya dengan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al-Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kiai Hasyim ini memperoleh dukungan para kiai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para kiai di Jawa dan Madura, pada akhirnya berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.

Tak heran jika saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

Bila Kiai Kholil Bangkalan terkenal dengan sebutan “Syaikhona Waliyullah” maka KH. M. Hasyim Asy’ari mendapat gelar “Hadratus Syekh”. Gelar Maha Guru ini muthlaq diberikan kepada Kiai Hasyim sebab hampir seluruh ulama’ tanah Jawa pernah berguru kepada beliau. Tercatat seperti KH. Abdul Karim, pendiri PP Lirboyo kediri, KH. A Wahhab Hasbullah, PP Tambak beras, KH. Romly, PP Darul ulum, dll.

Meski beliau menyandang banyak gelar – seperti yang dituliskan dalam taqridz atas kitab sirajut thalibin karya Kiai Ihsan Jampes, hal ini tidak menjadikannya sombong. Beliau tidak pernah menyebutkan gelar itu sama sekali. Padahal beliau adalah orang yang paling pas untuk mendapatkan gelar tersebut.

Terbukti pada manuskrip asli karya-karya beliau. Disana tidak ditemukan embel-embel yang menyertai nama beliau , seperti Kiai, haji, syekh, alim, apalagi a-allamah. Akan tetapi beliau lebih memilih embel-embel yang bersifatnya merendahkan diri kepada Allah. Beliau selalu menulis kata-kata al-faqir (yang faqir), al-haqir (yang hina), sebelum namanya disebut. Inilah salah satu sifat tawadhu’ yang beliau miliki.

Umat Islam Bersedih Ketika Beliau Mangkat

Bagaimana pun hebatnya manusia hidup di dunia, pasti maut akan menjemputnya. Tak terkecuali, Hadratus Syekh sebagai manusia biasa, beliau di panggil Allah SWT untuk selama-lamanya pada malam bulan Ramadhan. Tepatnya tanggal 3 Ramadhan 1366 H. atau 21 Juli 1947 M. Meski semua masyarakat tahu tanggal wafatnya Kiai Hasyim, namun karena wasiatnya, beliau tidak kerso di khouli.

Waktu itu, tepatnya pukul 9 malam, Hadratus Syekh kedatangan tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Tamu istimewa tersebut, memberikan sepucuk surat kepada beliau. Dalam surat itu, Bung Tomo memohon kepada Hadratusy Syaikh untuk mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang serta banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban.

Empat hari sebelumnya, tamu itu sudah menemui Hadratus Syekh yang ketika itu beliau baru saja selesai mengimami salat Tarawih dan ingin mengisi pengajian ibu-ibu muslimat. Si tamu juga menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman. Yang intinya beliau diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen untuk mendukung Belanda, dimana hal itu akan berpengarauh buruk bagi moral para pejuang. Jajaran TNI di sekitar Jombang akan membantu pengungsian Kiai Hasyim. Namun beliau tidak berkenan menerima tawaran tersebut.

Kiai Ghufron, yang mendampingi beliau, memberi laporan, bahwa kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim tampaknya semakin resah melihat keadaan yang kian lama kian terpojokkan. Sambil memegang kepala, Kiai Hasyim berkata dengan nada kaget dan prihatin: “Masya Allah, Masya Allah…”. Tak lama kemudian beliau tak sadarkan diri.

Di saat mendengar kabar kalau beliau tak sadarkan diri, putra-putrinya berkumpul dengan rasa panik. Dokter yang memeriksanya mengatakan, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (hesemblonding) yang sangat serius. Penyakitnya semakin menjadi, sehingga tepat pada pukul 03.00 dini hari, Inna lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un musibah besarpun terjadi. Ulama’ yang paling disegani seantero jazirah Islam kala itu, telah menghadap ilahi rabbi dengan damai dan sentosa.

Kepergian Hadratus Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, bukan hanya membawa kesedihan untuk umat Islam di Indonesia, di negara luar pun ikut berduka. Mereka amat merasa kehilangan seorang tokoh dan figur yang mereka banggakan.

Semoga apa yang beliau tempuh selama hidupnya dibalas oleh Allah SWT dengan sebaik-baiknya balasan. Dan semoga dengan kepergian Kiai Hasyim, muncullah Hasyim Asy’ari yang lain, baik dari dzuriyah, kerabat, santri, maupun kaum muslimin. (www.nubatik.net dari berbagai sumber).

Jumat, 05 November 2010

KH.ABDURROHHMAN WAHID

Wafatnya Gus Dur telah menyisakan pesan dan kesan tersendiri bagi warga NU. Gus Dur ternyata seorang tokoh NU yang dapat diterima keberadaannya dan ditangisi ketiadaannya oleh seluruh anak bangsa yang berlatar belakang berbeda, baik dari segi suku, agama, ras maupun aliran. Keberhasilan Gus Dur tersebut membuktikan ajaran aliran ahli sunnah yang dianutnya telah mengkonstruksi pemikiran dan perjuangannya sebagai bapak pluralisme di Indonesia.
Dibalik tradisionalitas ajaran dan sejarah NU, ternyata ada elanvital dari pluralisme bangsa. Sikap, pemikiran dan tindakan Gus Dur dalam meretas jalan demokrasi dan pluralisme di Indonesia berawal dari serangkaian faham ala ahli sunnah wal jamaah. Faham yang dimaksud: faham i’tidal, tawazun, tasamuh, dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Gus Dur sesungguhnya merupakan contoh kongkrit dari manifestasi falsafah hidup NU. Tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Siapapun tidak bisa membantah bahwa Gus Dur adalah putra terbaik NU, yang melebihi tokoh-tokoh NU dimasa lalu dan dimasa kini. Belum ada sepanjang sejarah NU, ada tokoh NU yang berhasil mengkombinasikan antara keulamaan dan kepresidenan. Dimana otoritas agama dan negara menyatu dalam dirinya, walaupun usia pemerintahan Gus Dur tak lebih dari dua tahun.
Gus Dur telah menjadi teks sejarah NU yang dapat ditelaah dan dikaji oleh siapapun. Bagaimana Gus Dur berhasil membumikan falsafah Islam ala ahli sunnah wal jamah dalam konteks demokrasi dan pluralisme di Indonesia. Islam ternyata bagi Gus Dur bukan menjadi penghalang bagi terwujudnya demokrasi dan pluralisme di Indonesia tersebut. Sehingga, siapapun anak bangsa ini merasakan manfaat dari ajaran dimaksud.
Kabut duka telah menyelimuti bumi Indonesia. Di mana salah satu putra terbaiknya dipanggil keharibaan Allah Rabul Izzati. Gus Dur, sang Guru Bangsa, sampai sekarang masih tetap dikenang oleh kawan dan lawannya. Seakan-akan, Gus Dur seperti sumbermata air yang tak pernah kering untuk diperbincangkan, selalu hangat dan menarik. Ini tentu sabuah anugerah yang tak terhingga bagi NU khususnya, dan Indonesia umumnya.
Seorang tokoh pesantren yang tumbuh dan besar dengan tradisi pemikiran dan perjuangan pesantren. Namun tradisi itu pula yang mendorong yang bersangkutan malang melintang di dunia lain, tanpa kehilangan keyakinan dan jati dirinya sebagai anak waris pesantren. Bahkan melalui pemikiran dan perjuangannya di luar dunia pesantren, merasakan makna terdalam dari falsafah Islam ala ahli sunnah wal jama’ah.
Dunia mencatat, Gus Dur selalu “pasang badan” untuk menjaga keutuhan NKRI, membela kaum minoritas, menjamin kebebasan berkeyakinan dan melaksanakan keyakinan tersebut. Banyak kasus yang membuktikan hal itu, seperti kasus Papua, Kongfucu, dan Ahmadiyah. Di mana Gus Dur sangat jelas “pembelaannya” terhadap mereka, sekalipun menentang arus besar yang beresiko tidak populer di kalangan umat Islam, bahkan di kalangan NU sendiri. Itu resiko yang harus dibayar demi keyakinan demokrasi dan pluralisme yang dianut.
Dalam konteks ini, Gus Dur tidak ada duanya. Banyak tokoh yang takut dicaci-maki dan dibenci, sehingga memilih “menggadaikan diri”. Gus Dur justru sebaliknya. Disinilah keutamaannya. Maka dari itu, sulit menemukan tokoh yang sekaliber di NU. Seratus tahun mendatang belum tentu mendapatkan “anugerah” seorang mujaddid dari NU untuk bangsa layaknya Gus Dur.
Boleh dibilang, Gus Dur merupakan “ayatun min ayatillah”, tanda-tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Sebuah fenemona kemanusiaan yang sarat pesan. Bahwasannya, Islam ala ahli sunnah wal jama’ah adalah ajaran yang melindungi umat yang lain. NU adalah organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan yang menjadi rumah kemanusiaan, dan seterusnnya.
Tergambar jelas peran dan fungsi NU dalam menjaga dan melestarikan faham yang dianut oleh Gus Dur di atas. Gambaran tersebut seperti kias kiai Wahab Hasbullah yang mengibaratkan NU seperti ikan di laut yang tidak pernah asin walau airnya asin. Ini artinya, NU memiliki identitas yang jelas dalam mengembangkan faham dan perjuangan dalam kehidupan keagamaan dan keindonesiaan.
Kendati, NU bergumul dengan berbagai wacana dan perjuangan yang berbeda secara ekstrim dengan faham dan perjuangan NU selama ini, ia tidak pernah terpengaruh malahan mempengaruhi mainstream orang lain. Hal tersebut terbukti dengan jelas keterlibatan NU dalam menjaga keutuhan NKRI, tanpa mematikan sikap kritis terhadap berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada, melindungi kaum minoritas tanpa menjadi bagian kaum minoritas, serta menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa menciderai kemurnian agama.
Dengan demikian, NU telah berhasil memberikan manfaat bagi anak bangsa ini, sehingga ketika salah seorang tokoh seperti Gus Dur meninggal akan terasa sangat kehilangan. Dalam benak mereka timbul kegundahan yang luar biasa, akankah ada Gus Dur-Gus Dur baru di keluarga besar NU yang sangat care terhadap kedamaian umat beragama. Sebab, Indonesia masih belum benar-benar terbebas dari kekerasan yang berlatar belakang agama lantaran fanatisme yang membabi buta serta fasisme keberagamaan lainnya.
Memang, meninggalnya Gus Dur secara organisatoris dan struktural tidak memiliki dampak signifikan bagi keberlangsungan NU di masa depan. Karena, Gus Dur telah melakukan regenerasi NU sejak 1999, setelah estafet kepemimpinan PBNU di bawah duet KH Sahal Machfudz-KH Hasyim Muzadi. Namun, secara ideologis dan kultural kehilangan simbol utama yang telah berkeringat membesarkan NU dan meningkatkan harkat dan martabat kaum nahdliyin.
NU pasca Gus Dur adalah NU pasca krisis simbol. Belum ada simbol ketokohan yang menyamai beliau dalam segala hal. NU mesti memikirkan regenerasi dan kaderisasi yang lebih sistematis dan komprehensif. Ini bisa dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan NU, pelatihan-pelatihan kepemimpinan dan keorganisasian serta mendorong anak muda NU terlibat secara langsung dalam berbagai peran di internal NU maupun di eksternal NU, tanpa membeda-bedakan latar keluarga yang selama ini menjadi prefensi bagi penyusunan kepengurusan NU.


kelompok:
1.effendi yusuf
2.hans bimantara
3.aqil siroj
4.maqdum hidayat

KH.MAHFUDZ SIDDIQ (mbah shiddiq jember)

A. HIDUP YANG ISTIQOMAH
Kyai Shiddiq atau lebih dikenal dengan julukan Mbah Shiddiq. adalah seorang tokoh panutan. Mungkin, tidak banyak tokoh seperti beliau, dimana semua putranya yang masih mencapai usia muda/dewasa telah menjadi kyai dalam arti yang sebenarnya. Demikian pula para menantunya.
Putera-putranya yang sejak usia muda telah menjadi Kyai. antara lain: KH. Mansur, KH. Achmad Qusyairi, KH Machmud, KH. Mahfudz Shiddiq, K.H. Abdul Halim Shiddiq, KH. Abdullah bin KH. Umar, KH. Muhammad bin KH. Hasyim dan KH. Dhofir Salam. Keberhasilan tersebut tentu dipengaruhi pula oleh pola kehidupan sehari-hari dimasa hayatnya. Mungkin kita bertanya, bagaimana pola kehidupan Kyai Shiddiq sehingga Allah memberinya taqdir dengan dikaruniainya keturunan yang selanjutnya menjadi ibarat mutiara-mutiara.
Ternyata, Kyai Shiddiq adalah sosok yang sangat “istiqomah”, yaitu: tekun, telaten, ajeg, terus-menerus dengan tidak bosan-bosan dan mengamalkan apa saja yang dapat diamalkan. Dalam Surat Fushilat disebutkan:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Tuhan kami Allah” ” kemudian beristiqamah (meneguhkan pendirian-pendirian mereka tentang iman, melakukan kewajiban dan menjahui larangan-laranganNya), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan sorga yang telah dijanjikan A lloh kepadamu, (di dunia lewat rosul- rosul-Nya). Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia (dengan mengilhamkan kebenaran dan kebaikan kepadamu), dan akhirat (dengan pemberian syafa’at dan kemudahan). dimana kamu memperoleh yang kamu inginkan (dari segala kenikmatan) dan memperoleh pula yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penvayang “.

Hampir setiap hari Kyai Shiddiq selalu bangun pada jam 3 malam untuk sholat sunat tahajjud, riyadhah maupun sholat? sholat sunnah lainnya. Menjelang subuh, kyai keliling pondok membangunkan santri. Beliau keliling sambil membawa tongkat penjalin, damar ublik (obor) dan teko berisi air. Dengan tongkatnya beliau ketok pintu-pintu pondok para santri.Terkadang kyai membangunkan santri dengan cara menabuh blek gembreng, sehingga bersuara gaduh dan memekakkan telin?ga. Bahkan setiap santri yang terlelap tidurya, pasti akan menjadi sasaran guyuran air ceret yang selalu dibawanya.
Sesudah adzan (santri bernama Ryas yang ditugaskan sebagai Mu’adzin), kyai sendiri selalu memimpin pujian (dzikir) sebelum sholat subuh, setelah sebelumnya kyai melaksanakan sholat Qobliyah terlebih dahulu. Setelah berzikir/pujian kemudian melakukan sholat jamaah Subuh.

Untuk pedoman atau prinsip hi dup yang mudah diingat oleh anak cucu dan santrinya, Kyai Shiddiq memerintahkan Kyai Halim (putranya) menulis bebeapa dalil di tembok mussholla. tulisan yang ada ditembok sebelah atas pengimaman yaitu hadits sbb:

“Sebaik-baik perbuatan umatku adalah membaca .41 Quran dengan menyimak?melihat”.

Imam Al Ghozali menjelaskan dalam Ihya’ Uluumuddin: Bahwa keutamaan orang yang membaca Al Quran dengan melihat/menyimak?seraya merenungkan maknanya? adalah lebih baik dari pada dengan cara tidak melihat/menghafal. Membaca Al Quran dengan melihat tersebut memiliki 3 manfaat yaitu: Membaca, menyimak dan merenungkan artinya. Sedangkan dalam membaca Al Quran seraya menghafal hanyalah mendapat satu manfaat yakni membaca saja.
Disisi tembok sebelah kanan atas terdapat tulisan yang dikutip dari Idtab Jauharul Tauhid:
“Semua kebaikan itu terdapat pada pengikutan ?kepada?orang-o terdahulu. Dan semua keburukan itu ada pada reka-reka orang kemudian?

Imam Al Ghozali memberikan argumentasi tentang diatas yakni karena orang salaf (terdahulu) telah memiliki kelebihan dari pada orang kemudian (Kholaf). Kelebihan ada pada 3 hal:
a. lebih faham (Mam)
b. lebih hati-hati (Wara’)
c. lebih tajam pandangan hatinya (Abshar)

Disisi tembok sebelah kiri atas terdapat tulisan yang dikutip dari kitab kifayatul Atqiyak:

“Kamu sungguh jangan meninggalkan sholat berjamaah yang keutamaan pahalanya setinggi 27 derajat”

Banyak sekali manfaat Sholat jamaah. Dalam kitab Dzurotun Nasihin Rasulullah bersabda: “barang siapa melakukan sholat ( lima waktu berjamaah akan memperoleh lima hal yaitu kesatu ia tidak akan mengalami kemiskinan didunia, kedua dibebaskan oleh Allah dari azab kubur, ketiga: menerima kitab catatan amalannya dengan tangan kanan, keempat; akan melalui shirot secepat kilat dan kelima akan dimasukkan surga tanpa hisab dan azab”. Dalil di atas mempertegas sabda Rasul sbb:

“Tiap tiga orang yang bertempat didesa dan pegunungan lalu mereka tidak melakukan sholat jama ‘ah, maka mereka akan dipermaikan syetan”.

B. AURAT AMALIYAHNYA
Pada umumnya, wiridan baru akan selesai sampai surya muncul agak tinggi, baru kemudian kyai masuk ke “kamar khusus” di sebelah utara tempat imam di musholla. Di “Kamar khusus” itulah tempat Kyai Shiddiq menyepi, beribadah sholat sunnat dan lain-lain. Santri tak seorangpun yang berani masuk kamar tersebut. Karena dalam “kamar khusus” itu Kyai Shiddiq melakukan sholat Dluha dan sholat-sholat sunnah lainnya. Selesai sholat Kyai biasanya melanjutkan dengan mengaji Al-Qur’an dan membaca dalailul khairot. Selain sebagai seorang hafids, Kyai Shiddiq sangat istiqamah menghatamkan Alqur’an setiap minggu.

Secara runtut, batas-batas bacaan Al-Qur’an dalam seminggu sebagai berikut:
1. Hari Jum’at membaca Al Fatihah s. d Al-Maa idah
2. Hari Sabtu membaca Al-An’ am s.d At-Taubah
3. Hari Ahad membaca Yunus s. d Maryam
4. Hari Senin membaca Thaha s.d Al-Qashash
5. Hari Selasa membaca Al-Ankabut s.d Shaad
6. Hari Rabu membaca Az-Zumar s.d Ar-Rakhman
7. Hari Kamis membaca Waqi’ah s. d An-Naas

Sekitar pukul 08.00 sampai jam 09.00 pagi, Kyai mengajar Fasholatan dan Al-Qur’an. Kitab Fasholatan yang diajarkan adalah hasil karangan beliau senchn’. Biasanya ketika mengajar Fasholatan dan AI-Qur’an banyak menggunakan cara-cara sorogan. Usai sorogan Fasholatan dan Al-Qur’an, barulah Kyai masuk ke ndalem untuk sarapan pagi. Setelah itu, Kyai masih meneruskan kembali sholat-sholat sunnah, mengaji Al-Qur’an dan membaca Dalail.

Baru pads sekitar jam 10.00 sampai jam 12.00 siang Kyai Shiddiq mengajar ngaji kitab kuning. Banyak kitab yang beliau ajarkan, namun demikian Kyai membaginya menjadi:

1. Kitab-kitab yang tetap (permanen) diajarkan. Bila kitab ini sudah selesai lalu diulang kembali dari awal (dijadikan wiridan). Kitab-kitab yang tetap ini antara lain:
a. Fatchurrahman
Kitab Fatchurrahman ini berisi materi Tauhid yang pokok (semacam Aqidatul Awam) dan fiqih (semacam Safinatun Najah). Kitab ini ditulis oleh beliau sendiri dan diwajibkan bagi santri menghatamkannya sebelum ngaji kitab lainnya (kitab standard awal).

b. Kitab Fiqh antara lain
- Safinatun Najah
- Sullam Taufiq
- Taqrib

c. Kitab Tasawuf antara lain
- Bidayatul Hidayah
- lhya’ Ulumuddin

d. Kitab Tafsir Jalalain

e. Kitab Shohih Bukhori

2. Kitab-kitab yang tidak tetap (temporer) antara lain
a. Kitab-kitab Alat antara lain
- Alfiyah
Kitab Alfiyah terjemahan berbahasa Madura ini ditulis ketika mondok di Bangkalan.
- Ajurumiah
- Imrity
b. Kitab Tasawuf antara lain
- Nashoihud Diniyah
- Adabul Mar’ah yang ditulis dalam bahasa Jawa.
c. Kitab Rojabiyah
d. Kitab Bifadlol dan lain-lain.

Dalam pengajian kitab kuning ini, Kyai Shiddiq banyak menggunakan cara weton/bandongan. Cara Weton adalah cara pengajian kitab yang berasal dari istilah jawa, karena pada umumnya waktu pengajian disesuaikan dengan waktu-waktu tertentu seperti usai waktu sholat, dan sebagainya. Secara teknis, dalam pengajian cara weton ini Kyai membaca dan menerangkan kitab yang diperuntukkan secara massal. Para santrinya memperhatikan kitabnya sendiri sambil membuat catatan-catatan (tentang arti maupun keterangan dari kyai).

Selesainya pengajian, Kyai Shiddiq makan siang bersama? sama keluarga dan khaddamnya. Kemudian mengerjakan sholat Dzuhur secara berjama’ah. Sebelum sholat dzuhur, bersama? sama melakukan dzikir/pujian dan sholat sunnah Qobliyah.

Selesai sholat, lalu wiridan dan yang bacaannya lebih pendek dari dzikir ba’da subuh. Disambung dengan sholat sunnah Ba’diyah dzuhur dan mengajar ngaji Al-Qur’an dan Fasholatan. Santri yang dibolehkan ngaji Al-qur’an adalah yang sudah lulus (fasih/tartil bacaan) Syahadati, Fatihati, Tahiyyati, Sholati, adzan dan lqamah. Bila bacaan masih belum tartil tetap masih harus mengaji Fasholatan saja. Selesai mengajar, barulah Kyai Shiddiq istirahat (tidur) sebentar. Begitu bangun, Kyai Shiddiq melakukan sholat sunnah berkali-kali, mengaji Al-Qur’an dan membaca dalail. Amalan sholat sunnah yang istiqamah dilakukannya 100 rakaat dalam sehari-semalam serta mengkhatam dalail (matane) sehari sekali.

Waktu ashar tiba, beliau sholat sunnah berkali-kali dan para santri membaca syi’ir “Aqidatul ‘Awam”. Lalu sholat jama’ah Ashar dan Dzikir. Dzikir ba’ da sholat Ashar sama dengan dzikir ba’da sholat subuh.

Kemudiandilanjutkan dengan pengajian kitab Ihya ‘Ulumudin dan Shohih Bukhori”. Selesai mengajar, Kyai masuk ndalem melanjutkan mengaji Al-Qur’an dan dalail sampai masuk waktu Maghrib. Sebelum sholat jama’ah Maghrib, bersama-sama santri membaca pujian.

Dzikir ba’da sholat Maghrib sama dengan dzikir bada subuh. Selesai berdzikir dilanjutkan sholat sunnah Ba’diyah dan ngaji. pengajian ba’da sholat Maghrib adalah AI-Qur’an dan Fasholatan yang teknisnya diatur sebagai berikut:

1.Santri dewasa dan tartil bacaannya harus membaca Quran 1 juz, sehingga dalam sebulan sudah harus hatam. Tempat mereka di dalam musholla.
2.Santri bocah harus ngaji Al-Qur’an dan Fasholatan di luar langgar. Mereka diajar Badal Kyai yaitu Haji Baidlowi (lurah pondok asal Madura) dan Abdul Azis.

Selesai ngaji (tanpa turun dari langgar) lalu bersama-sama pujian qobliyah sholat Isya’ dan sholat sunnah rawatib.Kemudian melaksanakan sholat Isya’ berjama’ah dan dilanjutkan dengan wiridan dan sholat sunnat rowatib. Wiridannya sama dengan wirid ba’da sholat Ashar. Di ndalem Kyai Shiddiq melakukan sholat sunnat berkali-kali, ngaji Qur’an dan dalail sampai “sare” (tidur). Khusus pada malam Jum’at ba’da maghrib, kyai Shiddiq memimpin bacaan Barzanji. Dan pada malam Senin ba’da Maghrib, membaca Diba’. Semula pemba?caan Diba’ dilakukan malam Jurn’at dan Barzanji pada malam Senin.

Suatu saat ketika sedang memimpin pembacaan (pada malam Senin) itu, tiba-tiba Kyai Shiddiq melihat kehadiran Rasulullah Saw hadir dan berdiri di pintu. Spontan, Kyai Shiddiq merobah bacaannya dengan Diba’. Maka sejak peristiwa inilah, pembacaan Diba’ dilakukan setiap malam Senin dan malam Jum’at untuk Barzanji. Kemudian dilanjutkan dengan membaca Rotibul Haddad (Rotib Sayyid Abdullah Alawi Al-Haddad).

Aktivitas mengajar Kyai Shiddiq yang sangat padat itu dilakukan tatkala telah banyak santri yang ngaji pada beliau. Sebelumnya, Kyai Shiddiq membagi waktunya dengan berda?gang sebagai ma’isahnya (mata pencahariannya hidupnya). Kegiatan mengajar yang full tersebut membuat Kyai Shiddiq harus mengalihkan perhatian dan’ aktivitas berdagang pada santrinya dan putra-putranya.

Suatu waktu, Mbah Shiddiq akan berdagang kain sarung, songkok, dan lain-lain ke Arjasa. Nampaknya Kyai terlambat di stasiun kereta api, sehingga kereta yang pagi sudah berangkat. Menurut keterangan kepala stasiun, kereta berikutnya baru akan berangkat jam 10 siang. Ketika ditunggu kereta berikutnya, Kyai Shiddiq bertemu seorang Penghulu yang rumahnya di depan stasiun. Penghulu tersebut menawarkan jasa, agar Kyai Shiddiq berkenan menunggu kereta di rumahnya saja.

Menjelang jam 10.00 Kyai Shiddiq minta idzin untuk pamit,dan tanpa diduga temyata Penghulu tersebut memberi salam ?tempel satu rupiah (serupiah saat itu, kira-kira sama nilainya dengan Rp 100. 000,? sekarang/thn 2007). “Lho, kok sompean. shodagah satu rupiah pada saya. Maka saya nggak jadi ke Arjasa. Lha Wong niat saya ke Arjasa tersebut untuk mencari untung satu rupiah ini”, kata Mbah Shiddiq pada Penghulu itu, kemudian beliau pulang. Namun demikian, sebelum pulang, uang itu dihabiskan untuk belanja urusan dapur, karena memang Kyai Shiddiq sendirilah yang selalu berbelanja urusan dapur ke pasar. bukan Nyai. Tiba di ndalem, beliau tertidur karena kepayahan Dalam tidumya,, beliau bermimpi bertamu ke rumah Penghulu tadi. Di sana beliau disuguhi hidangan babi. Ketika bangun. kagetlah Kyai Shiddiq dan cepat-cepat memerintahkan santri untuk membuang semua “hasil belanja dapur tersebut”

Nampaknya, Kyai Shiddiq terus dijaga oleh Allah SWT dari makanan basil perbuatan haram karena sifat wiro’i beliau. Wiro’i adalah sikap yang selalu menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela, seperti makruh dan subhat (tidak jelas, apakah dibolehkan oleh agama atau tidak), terlebih lagi haram yang jelas dilarang. Mbah Siddiq tidak berkenan mengajar kitab menggunakan papan tulis, sebab ayat-ayat Al-Quran yang ditulis papan yang kemudian dibapus.. berjatuhan. Ini kan sama dengan menelantarkan lembaran Mushaf yang robek

Kyai Shiddiq juga sangat perhatian terhadap penampilan or?ang. Pada suatu hari Kyai Yusuf dari Madura sowan kepada Kyai Shiddiq. Kyai Yusuf tetap membiarkan rambutnya agak panjang (gondrong) dan kumisnya lebat hingga melebihi bibir. Setelah bersalaman, langsung beliau berkata: “Poron panje?nengan eparingah ilmu/maukah kau kuberi ilmu? “Alhamdulillah ?” jawab, si tamu dengan suka citanya. Lalu Kyai Shiddiq berkata: “Tak sahe panjenengan Kyahe, ngobuh obuk/Tidak baik bagi kyai, memelihara rambut”. Kemudian beliau berikan gunting dan Kyai Yusuf diminta menggunting rambutnya saat itu juga. Semua anak dan menantu serta santri? santrinya diwajibkan oleh Kyai Shiddiq “menggundul rambut” kepala. Yang diperkenankan/disunnahkan hanyalah memelihara janggut. Bahkan, Kyai Muhammad bin Hasyim (menantunya) dimarahi Kyai Shiddiq karena mernelihara rambut sedikit seperti tentara di kepalanya.

Demikian pula dengan merokok, Kyai Shiddiq kurang senang jika ada orang/tamu apalagi santri ataupun anaknya yang merokok di hadapan beliau. Kyai Mahfudz Shiddiq pernah merelakan sak celananya bolong terbakar, karena menyimpan rokok yang sedang menyala, tatkala Kyai Shiddiq menemuinya. Kyai Shiddiq memang kurang senang ada yang merokok, ketika masih ngaji pada Kyai Abdurrohim, Sepanjang Sidoarjo.

Sebagaimana keblasaannya di pondok, Kyai Shiddiq selalu mengisi jeding Kyai Rohim pada pagi buta. Suatu hari, selesai mengisi jeding, Kyai Shiddiq pergi ke sungai sambil merokok klobot. Sedang asyik merokok, menyebabkan ketinggalan Sholat berjama’ah Subuh. Kyai Shiddiq akhirnya bersembunyi takut kena marah Kyai Rohim karena tidak berjama’ah.

Sejak peristiwa itulah, Kyai Shiddiq berjanji menghindari merokok. “Tak ada barang yang melebihi kejelekan merokok. Demi Allah aku mengharamkan diriku merokok” katanya. Mbah Shiddiq memiliki sikap, kesenangan dan perilaku sebagai benikut:
I. Ahli silaturrohim, khususnya pada para Sayyid/Habib, `Aulia’ dan Ulama. Diantara kesenangan bersilaturohmi ini antara lain ‘.
a. Selalu gembira dan bersyukur bila kedatangan tamu, bahkan selalu menghidangkan makan pada tamunya.
b. Senang mengawinkan jejaka-gadis.
c. Bila silaturrohmi pada orang miskin, hanya minta air putih saja.

2. Mengerjakan hal-hal yang sunnah antara lain :
a. Sholat-sholat sunnah, ngaji Alqur’an, Dalail dan selalu berdzikir
“Bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Alloh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan telanjang “. (QS AIi Imron: 190-191)

b. Memotong rambut, kumis dan kuku pada hari. Kamis.
c. Membersihkan sisa-sisa nasi yang dimakan. Bahkan selalu menjilat tangan, bila selesai makan. Itu menunjukkan syukur terhadap nikmat/karunia Allah Swt.

?Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu”. (QS Ibrohim: -7)
d. Saat makan, beliau selalu mencicipi garam sebelum dan sesudahnya. karena ini disunnahkan oleh agama. Pada suatu hari, Kyai Shiddiq, Kyai Yasin (Pasuruan) dan Kyai Nu’man (Lumajang) sedang makan jambu. Ada di antara 2 kyai itu yang, berkomentar “tidak manis-nya jambu tersebut. Spontan Kyai Shiddiq menegur: “Yang menentukan manis-tidaknya jambu ini adalah Allah. Jambu ini merupakan nikmat Allah pada kita. Jadi wajib bagi kita mensyukurinya.
d. Mematikan lampu pakai kipas (tidak dltiup).
3. Menjauhi hal-hal yang makruh, muru’ah dan Haram, misal
a. Merokok
b. Tidak suka melihat orang lain memiliki rambut, kumis dan kuku yang panjang.
c. Marah bila tahu ada orang, kentut sambil tertawa.
d. Marah, bila tahu laki-laki dan wanita yang bukan muhrimnya bertemu muka.
e. Dalam bepergian selalu menghindari lewat depan gereja.
f. Tidak membolehkan Kusir mencambuki kudanya.
g. Tidak senang musik/lagu-lagu, misal .- gambus.

4. Mendo’akan anaknya, cukup dengan memohon agar kelak menjadi orang yang bertaqwa.

5. Yang sangat diperhatikan pada anak dan santrinya adalah sholat. Bila putranya tak nampak dalam sholat berjama’ah, maka akan diusut sedetailnya tentang “kenapa tidak sholat jama’ah”.

6. Dan lain-lain.

Menurut beberapa informasi, Kyai Shiddiq 4 kali bertemu dengan Rasulullah Saw dan berkali-kali bertemu Rasulullah dalam mimpi. Sulit sekali ditakdirkan bertemu Rosulullah SAW kecuali Waliyullah. Imam Ghozali berkata “bertemu Rasulullah secara Ya Qodlo maka ia memiliki kasyqf’. Sayyid Ahmad Al Badawi ra. berkata: -Syarat yang harus di perbuat oleh orang yang ingin menjadi Waliulloh adalah benar benar dalam syari’at. Ada dua belas tanda-tanda yaitu :

1. Benar-benar mengenal Allah Swt (yakni, benar benar mengerti tauhid dan mantab iman keyakinan kepadaAllah).
2. Benar-benar menjaga perintah Allah Swrt.
3. Berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Saw.
4. Selalu berwudhu (jika berhadas segera memperbarui wudhu?)
5. Rela menerima hukum qadla’ Allah SWT. dalam suka duka.
6. Yakin terhadap semua janji Allah Swt.
7. Putus harapan dari semua apa yang ada di tangan manusia
8. Tabah. sabar menanggung bebagai derita dan gangguan orang.
9. Rajin mentaati perintah Allah SWT
10. Kasih sayang terhadap semua makhluq Allah SWT
11. Tawadlu, merendah diri terhadap yang lebih tua atau lebih muda.
12. Selalu menyadari bahwa setan itu musuh utama, sedang sarang setan itu dalam hawa nafsu dan selalu berbisik mempengaruhi.

C. PEMAKAMAN TURBAN CONDRO
Kyai Shiddiq, akhirnya wafat pada hari Ahad Pahing jam 17 40 tanggal 2 Romadlon 1533H (9 Desember 1934 M) pada usia +80 tahun. Saat jenazah, disemayamkan di ndalem Talangsari, datanglah 11 orang yang menawarkan tanahnva sebagai makam beliau. Sebelas orang itu antara lain:
1 . H. Ilyas, Gebang
2. Sadinatun, Gebang
3. Sa’id, Gebang
4. Riynah, Gebang
5. Samiroh, asal Bulu Tuban
6. Amir, asal Bulu Tuban
7. Sakiman, asal Bulu Tuban
8. KH. Yusuf, asal Bulu Tuban (mertua Kyai Shiddiq)
9. H. Anwar, Jatian ? Pakusari
10. H. Abdul Hamid, Rowo – Wirowongso.
11. H Samsul Arifin, Talangsari.

Namun agar adil maka akhirnva dilotre/diundi sebanyak 3 kali. Ternyata undian jatuh pada tanah H. Samsul Arifin di Turbah – Condro. Ribuan orang melayat Mbah Shiddiq menuju peristirahatannva di turbah Condro Jember. Hingga sekarang, banyak kaum muslimin ziarah di maqam Kyai Shiddiq. Para penziarah selalu membaca Al-qur’an. Tahlil dan bertawassul pada beliau. Kyai Shiddiq bagaikan “mutiara”, yang menurunkan banyak mutiara, menyinari kegelapan kota Jember.

GARIS KETURUNAN MBAH SIDDIQ
1. KH. Muhammad Shiddiq
2. bin Raden Pangeran Mas Sayyid KH. Abdullah (Lasem)
3. bin Raden Pangeran Sayyid KH. Sholeh (Raden Tirto Widjoyo, Lasem)
4. bin Sayyid KH. Asy?ari (Raden Pangeran Asyri, Lasem)
5. bin Sayyid KH. Muhammad Adzro?i (Raden Pangeran Bardla?i, Lasem)
6. bin Sayyid KH. Yusuf (Raden Yusuf, Pulandak Lasem)
7. bin Sayyid Abdurrachman (Mbah Sambu)
8. bin Sayyid Muhammad Hasyim (sunan Ngalogo)
9. bin Sayyid Abdurrachman Basyaiban (Mangkunegoro III)
10. bin Sayyid Abdullah
11. bin Sayyid Umar
12. bin Sayyid Muhammad
13. bin Sayyid Achmad
14. bin Sayyid Abu Bakar Basyiban
15. bin Sayyid Muhammad Asy?adullah
16. bin Sayyid Hasan At – Taromi
17. bin Sayyid Ali
18. bin Sayyid Muhammad Al Faqih Muqoddam
19. bin Sayyid Ali
20. bin Sayyid Muhammad Shohibi Mirbat (Zafar, Hadramaut)
21. bin Sayyid Ali Khaliq Qosim (Tarim, Hadramaut)
22. bin Sayyid Alwi (Bait Zubair, Hadramaut)
23. bin Sayyid Muhammad (Bait Zubair, Hadramaut)
24. bin Sayyid Alwi (Samal, Hadramaut)
25. bin Sayyid Abdullah Ubaidillah (Al – Ardli Burt Hadramaut)
26. bin Sayyid Ahmad Al – Muhajir (Basra Tarim, Hadramaut)
27. bin Sayyid ?Isa An Naqib (Basrah, Iraq)
28. bin Sayyid Muhammad An – Naqib (Basrah, Iraq)
29. bin Sayyid Ali Al ?uraidi (Madinah)
30. bin Sayyid Ja?far Ash – Shodiq (Madinah)
31. bin Sayyid Muhammad Al – baqier (Madinah)
32. bin Sayyid Ali Zainal Abidin (Madinah)
33. bin Sayyidina Husein
34. binti Fatimah Az Zahroh (Isteri Sayyidina Ali Al – Murtadlo)
35. bin Rosulullah Muhammad SAW


KELAS: Xa
M.MUDZAKIR ROIS
ACHNAD SYUKRON