Senin, 22 November 2010

KH. HASYIM ASY'ARI

Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari
( Pendiri Nahdlatul Ulama )


Kelahiran pendiri NU

Sebelum lahir, tanda-tanda khoriqul ‘addah telah tampak pada jabang bayi Hadratus Syekh. Beliau berada dalam kandungan sang ibu selama 14 bulan. Masyarakat Jawa kala itu memiliki keyakinan bahwa masa kandungan yang panjang mengindikasikan kecemerlangan sang bayi di masa depan. Sang ibu lebih yakin akan isyarat ini, karena dirinya pernah bermimpi melihat bulan purnama jatuh dari langit tepat mengenai perutnya yang sedang mengandung. Ketika mimpi ini diceritakan kepada sang suami, beliau tidak tahu persis apa yang akan terjadi. Namun beliau pernah mendengar bahwa mimpi semacam ini merupakan pertanda anugerah dari Allah SWT. Pada masa mengandung pula, Nyai Halimah menjalankan berbagai macam tirakat sebagi jembatan mendekatkan diri kepada Sang Kholik. Beliau senantiasa berpuasa di sepanjang hari, shalat malam tanpa henti serta tak lupa membaca Al-qur’an.

Suatu hari, ketika sedang menampi beras, Ny Halimah mendapati berasnya berubah wujud menjadi emas. Lantas beliau bergegas melaksanakan shalat dhuha. Setelah shalat beliau berdoa: “Ya Allah, Saya tidak meminta harta. Saya hanya meminta kepadamu agar anak keturunan saya menjadi orang-otrang yang baik dan berguna bagi agama-Mu”

Pada Hari Selasa Kliwon tangal 14 Februari 1871 M, yang bertepatan dengan 24 Dzulqo’dah 1287 H bayi yang ditunggu-tunggu ini akhirnya lahir dengan membawa suasana gembira di Pondok Gedang, sebuah pondok yang masyhur kala itu, terletak di Desa Tambak rejo – 2 km dari kota Jombang. Bayi istimewa itu, kemudian diberi nama Muhammad Hasyim. Kelak beliau terkenal dengan nama Muhammad Hasyim Asy’ari. Nama yang dibelakang ini adalah nama ayahnya, Kiai Asy’ari.

Dikisahkan, dukun kandungan yang membantu kelahiran bayi Hasyim ini tercengang heran melihat proses babaran yang begitu lancar. Setelah mengamati wajah si bayi, dukun itu meramalkan kelak ia akan menjadi the founding father -pemimpin dan panutan seluruh ummat. Selain itu ia juga meramalkan kalau bayi itu kerap menjadi pengantin baru. Ramalan sang dukun ternyata tidak meleset. Perjalanan hidup Hadratus Syekh penuh dengan berbagai kesibukan, mulai urusan nasionalis hingga religius . Di sela-sela perjelanan hidup beliau pula untuk sekian kalinya beliau menikah.


Garis Nasab

Sudah menjadi sunnatullah, dimana orang yang baik menunjukkan nasabnya juga baik. Tak terkecuali Hadratus Syekh, bila ditarik ke atas nasab beliau akan bersambung dengan Nabi Muhmmad SAW, lewat Maulana Ishaq. Berikut rekapannya;

KH.M.Hasyim Asy’ari Tebuireng bin KH.M.Asy’ari Keras bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdurrahman (Joko Tingkir) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq (Ayah Sunan Giri) bin Ibrahim Asmoro (Palang Tuban) bin Jamaluddin Akbar al-Husaini bin Ahmad Jalaludin Syah bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Muhajir bin Alawi Hadramaut bin Muhammad Shahibu Marbat bin Ali Choli’ Qosan bin Alawi Muhammad bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Al-basri bin Muhammad An-naqib bin Ali Uraidli bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Sayyidah Fatimah binti Rasulullah Muhammad SAW. [1]

Ibunya, Nyai Halimah, adalah putri dari pasangan Kiai Utsman dan Nyai Layinah. Kiai utsman adalah pendiri pondok pesantren yang terletak di sebelah selatan pondok Gedang. Karena beliau ahli thoriqat, maka pondok beliau ini masyhur akan ilmu thariqatnya. Ayah Nyai Layinah bernama Kiai Abdus Salam yang dikenal dengan gelar Kiai Sihah. Konon gelar itu diberikan karena kesaktian beliau ketika membentak musuh akan berakibat lumpuh tanpa daya. Kata “Sihah” diambil dari bahasa Arab “Shaihah” yang bermakna “bentakan yang menggeledek”. Pada tahun 1938, beliau mendirikan pondok Gedang. Dari pondok inilah lahir ulama’-ulama ternama pada masanya. [2]

Hadratus Syekh juga sepupu KH. Wahhab Hasbullah. Ayahnya bernama Kiai Hasbullah, putra dari Nyai Fatimah yang tak lain adalah saudara kandung nyai Layyinah.

Ayah Hadratus Syekh bernama Kiai Muhammad Asy’ari, seorang ulama’ tangguh berasal dari Gubug, Purwodadi Jawa tengah. Beliau adalah keturunan kelima Abdurrohman alias Joko tingkir. Menuntut ilmu ke berbagi pondok pesantren diantaranya Demak, Kudus, Jombang. Kemudian, tepatnya di desa Keras beliau mendirikan pondok pesantren dan Masjid sebagai pusat pembelajaran serta peribadatan masyarakat sekitar. Dan di sanalah beliau dimakamkan. Menurut keyakinan masyarakat, tanah makam Kiai asy’ari dapat digunakan untuk pengobatan.

Rihlah Ilmiyah

Ketika usianya mencapai delapan tahun, Hasyim kecil menerima didikan dari sang Ayah hingga usianya 13 tahun. Sebelumnya ia telah dididik oleh kakeknya di pesantren Gedang.

Ketika usinya telah genap 15 tahun, dengan disertai doa dan restu orang tuanya, Hasyim memulai mengembara thalabul ilmu di pondok pesantren di tanah Jawa. Diantara Pondok yang pernah beliau singgahi adalah; Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan, Langitan Tuban, Tenggilis Surabaya, ponodok Siwalan Panji Sidoarjo, lalu di pondok yang paling masyhur kala itu, asuhan Syaikhona Khalil di Demangan Bangkalan Madura.

Beliau masih belum puas dengan apa yang telah didapatnya dari pesanten di Jawa. Maka kemudian sekitar tahun 1892 M. beliau pergi mekkah untuk memperdalam ilmu disana. Diantara gurunya ialah; Syekh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfudzh At-Turmusi, dan Syekh Khatib Minagkabau, Syekh Ahmad Amin At-Ththar, Syekh Ibrohm Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmatulah dan Syekh Bafaddhal, Sayyid Abbas Al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim Ad-Dagistani, Sayyid Abdullah Az-Zawawi, Sayyid Ahmad Bin Hasan Al-Athas, Sayyid Alwi Bin As-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, Sayyid Husain Al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah.

Di sana beliau juga berguru pada ulama’ asal nusantara yang sangat masyhur di tanah Arab. Mereka itu ialah; Syekh Muhammad Nawawi, asal Banten, Syekh Ahmad Khathib Asal Minangkabau, Syekh Mahfudz asal Tremas, Syekh Abdus Syakur, asal Surabaya dll. Dari Syekh Mahfudz At-termasi, beliau mendapatkan ijazah sanad kitab-kitab hadits, yang kelak menjadikannya sebagi ulama pertama yang mengajarkan kitab hadits di tanah Jawa. Berikut sanad kitab shahih bukhori;

Syekh Muhammad Hasyim Asy’ary al-jumbani dari Syekh Muhammad Mahfudz ibn Abdullah At-termasi dari gurunya Syekh sayid abi bakr bin Muhammad Syata al-Makki dari Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dari Syekh ‘Utsman bin hasan ad-dimyathi dari Syekh Muhammad bin ‘Ali as-syanwani dari Syekh ‘Isa bin Ahmad Al-barawy dari Syekh Ahmad ad-dafry dari Syekh Salim bin Andullah al-Bishri dari Ayahnya Syekh abdullah bin salim al-bishry dari Syekh Muhammad bin A’lauddin al-babily dari Syekh Salim bin ahmad as-sanhuri dari Syekh an-njm Muhammad bin Ahmad al-Ghaithi dari Syekh al-islam zakariya bin Muhammad al-anshary dari Syekh al-hafidz Ahmad bin ‘Ali bin hajar al-asqalany dari Syekh Ibrahim bun Ah,mad at-tanukhy dari Syekh Abi al-abbas Ahmad bin Abi Thalib al-hijar dari Syekh al-husain bin al-Mubarak az-Zaibidi al-hanbaly dari Syekh Abi al-waqt Abdl Awwal bin ‘Isa as-sajazy dari Syekh abi al-husain abdl rahman bin mudzaffar bin Dawud ad-dawudy dari Syekh abi Muhannad Abdullah bin Ahnad as-sarkhasy dari Abi Abdullah bin Muhammad bin Yusuf al-faribary dari sang pengarangnya al-imam Abi Abdullah Muahammad bin ‘Ismail al-Bukhary bin Ibrahim bin al-Mughirah bin bardazabah rahimahullah wa nafa’ana bihi wa bi ‘ulumihi Amin[4]

Bersama teman-temannya di mekkah –yang berasal dari Afrika, Asia Selatan, Asia tengah, dan Arab-mereka pernah berikrar di depan multazam. Tepatnya pada malam bulan Ramadhan yang penuh berkah. “Demi Allah kami akan melakukan perjuangan di jalan-Mu untuk menjunjung kalimat Islam, mempersatukan umat, dengan menyebarkan ilmu dan kesadaran. Serta memperdalam agama demi mendapatkan ridha-Mu tanpa mengharapkan harta, kedudukan, ataupun jabatan bagi diri sendiri.”

Tebuireng sebagai Qiblatnya Pesantren

“Menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia. Kalau manusia itu sudah baik, lantas apalagi yang perlu diperbaiki. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan. Contoh-contoh ini telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dalam berjuang.”

Pernyataan tersebut pernah dikemukakan oleh Hadratus Syekh dalam rangka menegaskan tekadnya untuk mendirikan pesantren di Tebuireng. Mula-mula keinginan Kiai Hasyim ini tidak disetujui oleh kawan-kawan sesama kyainya. Sebab kala itu desa Tebuireng adalah desa yang sudah amat parah akan kemungkarannya. Dimana perzinaan, perjudian, taruhan, perampokan, mabuk-mabukan dan adu ayam sudah menjadi kebiasanna masyarakat Tebuireng.

Langkah awal Kiai Hasyim untuk mendirikan pondok ialah membeli sebidang tanah milik seorang dalang ternama di desa Tebuireng, tepatnya pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H (sekitar tahun 1899 M). Lalu untuk banguanan awal beliau mendirikan sebuah teratak bambu yang luasnya hanya sekitar 10 meter peresegi. Teratak ini terbagi atas dua buah petak rumah. Separuh untuk tempat tinggal Kyai Hasyim dan keluarga, sepetak lagi digunakan sebagai tempat mengaji dan dan beribadah para santri. Santri generasi awal tercatat hanya 8 orang. Kemudian dalam tempo tiga bulan, jumlah santri bertambah menjadi 28 orang.

Setelah berhasil mendirikan pondok di desa Tebuireng, seperti lazimnya pesantren kala itu. Kiai Hasyim tidak memberi nama lain untuk pondoknya tersebut. Beliau lebih memilih nama pondoknya adalah nama desa itu sendiri, yakni Tebuireng. Hal ini seperti kasus pondok Tambakberas, Sidosermo, Bloagung, Tegalsari, Pabelan, Langitan, Krapyak, Lirboyo, Maskumambang, Lasem, Sarang, Sidogiri, dll. Sang pendiri tak memberi nama lain kecuali nama dimana pondok itu berdiri.

Ada tiga versi mengapa desa tersebut dinamakan Tebuireng. Versi pertama mengatakan; desa Tebuireng pada asalnya bernama kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, di daearah tersebut ada seeokor kerbau yang terendam di dalam lumpur. Di dalam lumpur tersebut terdapat banyak lintah. Ketika ditarik menuju daratan, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.

Versi kedua; nama Tebuireng diambil dari nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam yang berdomisili di sana. Versi ketiga; di sekitar desa tersebut memang tumbuh banyak pohon tebu yang berwarna hitam. Hingga karena saking banyaknya, pemerintah Belanda mendirikan pabrik gula di Cukir, dekat Tebuireng.

Namun demikian, kedatangan Kiai Hasyim di Tebuireng bukan berarti masyarakat setempat menerima dengan baik. Berbagai gangguan dan rintangan telah mengancam beliau dan para santri. Saban malam mereka harus berjaga, sebab kalau tidak nyawa akan melayang terkena tusukan benda tajam dari masyarakat.

Melihat peristiwa seperti ini, Kiai Hasyim berusaha keras untuk mengamankan situasi. Beliau meminta bantuan kepada para kiai di Cirebon yang terkenal akan keampuhannya itu. Mereka itu ialah; Kiai Sholeh Benda, Kiai Abdullah Pangurangan, Kiai Syansuri Wanantara, Kiai Abdul Jamil Buntet, dan Kiai Abbas. Selama kehadiran lima Kiai tersebut, tratak yang merupakan cikal bakal pondok Tebuireng menjadi tempat pelatihan silat dan ilmu hikmah lainnya. Guna sebagai bekal menghadapi para musuh yang kian lama semakin menjadi-jadi.

Kerja kerasnya tak sia-sia, musuh yang terhimpun dari para preman dan geng desa Tebuireng tunduk takluk di hadapan Kiai Hasyim. Bahkan diantara mereka ada yang minta diajarkan ilmu beladiri dan ilmu hikmah. Bahkan tak sedikit pula yang menjadi murid Kiai Hasyim. Belajar, mengaji dan beribadah di dalam tratak kecil itu.

Keberadaan pondok Tebuireng semakin diakui oleh masayarakat luas. Bukan hanya Tebuireng dan Jombang saja. Banyak orang-orang dari berbagai daerah ikut mondok, menuntut ilmu kepada Kiai Hasyim. Tercatat pada tahun 1915-an, santri Tebuireng telah mencapai 2.000 santri yang berasal dari berbagai penjuru tanah air. Pondok Pesantren Tebuireng mendapat pengakuan resmi oleh pemerintah belanda pada 6 Pebruari 1907.

Pada zaman belanda, Tebuireng tak lepas dari gangguan. Bahkan suatu ketika tentara belanda menghancurkan dan mengobrak-abrik isi pondok. Banyak bangunan yang dibakar. Kitab-kitab yang mereka gunakan mengaji juga dibakar. Kejadian ini bermula, karena Belanda tidak senang akan Kiai Hasyim yang sangat berpengaruh waktu itu. Berbagai macam tuduhan dan fitnah terus dilontarkan, hingga terjadi kerusuhan besar-besaran antara santri dan kolonial.

Kiai Hasyim menanggapi peristiwa ini dengan memberi dorongan kepada santri: “Kejadian ini justru menambah semangat kita untuk terus berjuang menegakkan Islam dan kemerdekaan yang hakiki”.

Kabar yang terjadi di Tebuireng terdengar oleh banyak pesantren di Jawa. Mereka turut menyumbangkan bantuan dan sumbangan untuk Tebuireng. Sehingga dalam waktu sekitar 8 bulan, Tebuireng bangkit seperti sedia kala. Nama Tebuireng semakin terkenal, para santri yang datang untuk mengaji pun bertambah banyak.

Ad-Da’wah Bil Qalam

Tampaknya tidak ada orang yang tak mengenali siapa KH M. Hasyim Asy’ari. Perjuangannya hingga kini masih terasa, diantaranya peninggalan beliau yang berupa organisasi Islam terbesar yang beliau dirikan pada 1926 dengan nama “Nahdhatul Ulama”. Tetapi sedikit sekali dari mereka yang mengetahui bahwa KH Hasyim Asy’ari ternyata seorang ulama yang produktif menulis. Telah banyak kitab-kitab beliau yang terbit, dan setiap tahunnya pun dikaji dimana-mana.

Waktu yang digunakan KH. Hasyim Asy’ari untuk menulis biasanya adalah pagi hari diantara jam 10.00 sampai menjelang dhuhur. Selain untuk menulis, waktu ini biasanya beliau gunakan untuk istirahat, membaca kitab dan menerima tamu yang setiap harinya berkisar 50 tamu.

Tulisan beliau beragam, ada yang menerangkan agama, aqidah, syari’ah, fiqh, hadits, hubungan sesama manusia, politik, etika, sejarah dan sebagainya. Kitab yang beliau tulis merupakan pengalaman yang pernah beliau alami. Seperti kitab at-tanbihat al-wajibat, adalah sebuah kitab yang berisikan pengalaman beliau atas perayaan maulid yang dicampuri dengan berbagai macam kemungkaran. Peristiwa ini terjadi ketika beliau pergi ke Sewulan Madiun pada 1355 H. Ada juga kitab beliau yang berjudul ziyadah at-ta’liqot, isinya adalah perdebatan/ikhtilaf beliau dengan Abdullah bin Yasin Pasuruan yang menolak amaliyah NU.

Beliau juga sering mengisi kolom pada majalah dan surat kabar pada waktu itu, seperti, Panji Masjarakat, Soeara Masjoemi, dan Swara Nahdhotul Oelama’. Tulisan beliau biasanya berbentuk artikel, fatwa, ceramah dan jawaban atas pertanyaan para pembaca (beliau sebagai pengasuh rubrik tanya jawab masalah fiqhiyah ).

Sangatlah sulit untuk dibayangkan, betapa sibuknya beliau sebagai pengasuh pesantren, pemimpin NU, ketua Ormas, Penasehat, Pembimbing para pejuang Pembela anah air, menyempatkan diri unuk menulis. Sungguh sebuah semangat yang jarang dimilki oleh kebanyakan kiai.

Untuk membudayakan tradisi tulis menulis di kalangan warga NU, bersama KH Abdul Wahab Hasbullah, beliau mendirikan majalah NU dengan nama “Soeara Nahdhotoel Oelama”. Edisi perdananya terbit pada 1 Shafar 1346 /1930 (empat tahun setelah NU didirikan). Selain berisikan informasi penting tentang laju perkembangan NU, di dalamnya juga terdapat berita-berita aktual seputar nasional. Majalah ini memiliki ciri khas yang tak dijumpai majalah lainnya, yakni bertuliskan Jawa pegon (bahasa jawa yang ditulis dengan huruf hijaiyah). Atas prakarsa beliau inilah, kini telah beredar banyak majalah NU di Nusantara hingga menjadikan generasi muda NU gemar untuk tulis menulis.

Adapun karya-karya Hadratus syekh yang dapat di telusuri dan dinikmati hingga saat ini diantaranya ialah:

1. Al-Tibyan fi an-nahy ‘an muqathaah al-arham wa al-aqarib wa al-ikhwan. Penjelasan dalam melarang memutus silaturrahim sanak famili, kerabat dan saudara.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan hukum pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’
3. Risalah fi ta’kid al-akhdz bimadzhab al-aimmah al-arba’ah. Risalah yang menerangkan memperkuat berpegang teguh atas madzhab empat.
4. Mawaidz. Beberapa Nashihat.
5. Arba’in haditsan tata’alliq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar Nahdhatul Ulama’

Kelima kitab Hadratus syekh di atas yaitu,at-tibyan, al-qanun al-asasy, risalah, dan arbain dikumpulkan menjadi satu kitab yang diatasnya diberi judul besar AT-TIBYAN berjumlah 41 halaman.

1. An-Nur al-Mubin fi mahabbah sayyid al-mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul.
2. At-Tanbihat al- Wajibatliman yashna’ al-maulid bi al-munkarat. Peringatan-peringatan wajib untuk orang yang mengadakan kegiatan maulid dicampuri dengan kemungkaran
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi hadits al-mauta wa syrat as-sa’ah wa bayan mafhum as-sunnah wa al-bid’ah. Risalah ahli sunnah wal jama’ah menerangkan tentang hadits-hadits yang menjelaskan kematian serta tanda-tanda hari qiyamat dan menjelaskan kefahaman sunnah dan bid’ah.
4. Ziyadah Ta’liqat a’la mandzumah as-Syekh ‘abdullah bin yasin al-fasuruani . Tambahan yang berhubungan atas nadzm syekh abdullah bin yasin Fasuruan.
5. Dhu’ul Misbah fi bayan ahkam an-nikah. sebuah Cahaya yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah.
6. Ad-Durosul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah.
7. Hasyiyah ‘ala Fath ar-rahman bi syarah risalah al-wali ruslan li Syekh al-islam Zakariya al-anshari. Komentar atas kitab fath ar-rahman penjelas kitab risah al-wali ruslan karya Syekh al-islam Zakariya al-anshari.
8. Ar-rsalah at-tauhidiyah. Risalah tauhid.
9. Al-qalaid fi bayani ma yajib min al-aqaid.
10. Ar-risalah al-jama’ah.[2]
11. Ar-risalah fi al -’aqaid. Menerangkan aqidah
12. Ar-risalah fi at-tasawwuf. Menerangkan tentang ilmu tashawwuf
13. Adab al-‘Alim Wa al-Muta’allim fima yahtaju ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limih wa ma yatawaqqaf ‘alaih al-muallim fi maqat ta’limih .Sopan santun orang yang alim dan pelajar

Dari sekian banyaknya karya Hadratus Syekh, kitab adalah yang paling fenomenal. Menjadi salah satu bidang study di berbagai lembaga pendidikan. Juga sering dijadikan bahan pembahsan mahasiswa dalam membuat tesis atau skripsi.

Di samping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikan Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.

Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadu domba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapi oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.

Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian dianulir dengan keputusan Muktamar Situbondo yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitthohnya.

Dari Komite Hijaz hingga Pendirian NU

Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang biasa disebut Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan.

Di kalangan pesantren muncul pula organisasi-organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar ini adalah tokoh muda, KH Abdul Wahhab Hasbullah (pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid Hadratus syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial dan politik.

Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia, karena dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka KH. Hasyim Asy’ari bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan sama, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia Islam atas rencana Raja Ibnu Saud tersebut, sehingga rencana itupun digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Tahun 1924, kelompok diskusi taswirul afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya tentang rencana tersebut, meminta waktu untuk mengerjakan shalat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Namun dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum juga datang. Kiai Hasyim Asy’ari sangat gelisah. Dalam hati kecilnya beliau ingin berjumpa dan membicarakan hal itu kepada gurunya, KH Khalil bin Abdul Latif, Bangkalan.

Sementara nun jauh di sana, tepatnya di Bangkalan Madura, Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami KH. M. Hasyim Asy’ari. Kiai Khalil kemudian mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada KH. M. Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada KH. M. Hasyim Asy’ari.

Ketika KH. M. Hasyim Asy’ari menerima kedatangan pemuda As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.

Waktu terus berjalan dan pendirian organisasi tersebut belum juga terealisasi. Agaknya KH. M. Hasyim Asy’ari masih menunggu kemantapan hati untuk mendirikan organisasi itu. Sampai suatu ketika, tepatnya pada tahun 1925, pemuda As’ad kembali lagi menemui Hadratus Syeikh.

”Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda As’ad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Khoili di lehernya. As’ad belum pernah menyentuh tasbih tersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tasbihnya akan tersentuh. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.

”Kiai Khalil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahar di setiap waktu,” tambah As’ad.

Kehadiran As’ad yang kedua kalinya ini membuat hati Hadratus Syekh semakain mantap. Hadratus Syekh bisa menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan jika kelak ia bersama kawan-kawannya mendirikan sebuah organisai/jam’iyah. KH. M. Hasyim Asy’ari menganggap bahwa inilah jawaban yang dinanti-nanti melalui salat istikharahnya. Namun sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.

Akhirnya, pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M, organisasi itu telah lahir dengan nama jam’iyah Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. KH. M. Hasyim Asy’ari dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di dunia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarkan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran para madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Semangat Abduh ini mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang telah belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kiai Hasyim pada prinsipnya menerima ide-ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi beliau menolak pemikiran Abduh agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatannya dengan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al-Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kiai Hasyim ini memperoleh dukungan para kiai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para kiai di Jawa dan Madura, pada akhirnya berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.

Tak heran jika saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

Bila Kiai Kholil Bangkalan terkenal dengan sebutan “Syaikhona Waliyullah” maka KH. M. Hasyim Asy’ari mendapat gelar “Hadratus Syekh”. Gelar Maha Guru ini muthlaq diberikan kepada Kiai Hasyim sebab hampir seluruh ulama’ tanah Jawa pernah berguru kepada beliau. Tercatat seperti KH. Abdul Karim, pendiri PP Lirboyo kediri, KH. A Wahhab Hasbullah, PP Tambak beras, KH. Romly, PP Darul ulum, dll.

Meski beliau menyandang banyak gelar – seperti yang dituliskan dalam taqridz atas kitab sirajut thalibin karya Kiai Ihsan Jampes, hal ini tidak menjadikannya sombong. Beliau tidak pernah menyebutkan gelar itu sama sekali. Padahal beliau adalah orang yang paling pas untuk mendapatkan gelar tersebut.

Terbukti pada manuskrip asli karya-karya beliau. Disana tidak ditemukan embel-embel yang menyertai nama beliau , seperti Kiai, haji, syekh, alim, apalagi a-allamah. Akan tetapi beliau lebih memilih embel-embel yang bersifatnya merendahkan diri kepada Allah. Beliau selalu menulis kata-kata al-faqir (yang faqir), al-haqir (yang hina), sebelum namanya disebut. Inilah salah satu sifat tawadhu’ yang beliau miliki.

Umat Islam Bersedih Ketika Beliau Mangkat

Bagaimana pun hebatnya manusia hidup di dunia, pasti maut akan menjemputnya. Tak terkecuali, Hadratus Syekh sebagai manusia biasa, beliau di panggil Allah SWT untuk selama-lamanya pada malam bulan Ramadhan. Tepatnya tanggal 3 Ramadhan 1366 H. atau 21 Juli 1947 M. Meski semua masyarakat tahu tanggal wafatnya Kiai Hasyim, namun karena wasiatnya, beliau tidak kerso di khouli.

Waktu itu, tepatnya pukul 9 malam, Hadratus Syekh kedatangan tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Tamu istimewa tersebut, memberikan sepucuk surat kepada beliau. Dalam surat itu, Bung Tomo memohon kepada Hadratusy Syaikh untuk mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang serta banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban.

Empat hari sebelumnya, tamu itu sudah menemui Hadratus Syekh yang ketika itu beliau baru saja selesai mengimami salat Tarawih dan ingin mengisi pengajian ibu-ibu muslimat. Si tamu juga menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman. Yang intinya beliau diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen untuk mendukung Belanda, dimana hal itu akan berpengarauh buruk bagi moral para pejuang. Jajaran TNI di sekitar Jombang akan membantu pengungsian Kiai Hasyim. Namun beliau tidak berkenan menerima tawaran tersebut.

Kiai Ghufron, yang mendampingi beliau, memberi laporan, bahwa kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim tampaknya semakin resah melihat keadaan yang kian lama kian terpojokkan. Sambil memegang kepala, Kiai Hasyim berkata dengan nada kaget dan prihatin: “Masya Allah, Masya Allah…”. Tak lama kemudian beliau tak sadarkan diri.

Di saat mendengar kabar kalau beliau tak sadarkan diri, putra-putrinya berkumpul dengan rasa panik. Dokter yang memeriksanya mengatakan, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (hesemblonding) yang sangat serius. Penyakitnya semakin menjadi, sehingga tepat pada pukul 03.00 dini hari, Inna lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un musibah besarpun terjadi. Ulama’ yang paling disegani seantero jazirah Islam kala itu, telah menghadap ilahi rabbi dengan damai dan sentosa.

Kepergian Hadratus Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, bukan hanya membawa kesedihan untuk umat Islam di Indonesia, di negara luar pun ikut berduka. Mereka amat merasa kehilangan seorang tokoh dan figur yang mereka banggakan.

Semoga apa yang beliau tempuh selama hidupnya dibalas oleh Allah SWT dengan sebaik-baiknya balasan. Dan semoga dengan kepergian Kiai Hasyim, muncullah Hasyim Asy’ari yang lain, baik dari dzuriyah, kerabat, santri, maupun kaum muslimin. (www.nubatik.net dari berbagai sumber).

Jumat, 05 November 2010

KH.ABDURROHHMAN WAHID

Wafatnya Gus Dur telah menyisakan pesan dan kesan tersendiri bagi warga NU. Gus Dur ternyata seorang tokoh NU yang dapat diterima keberadaannya dan ditangisi ketiadaannya oleh seluruh anak bangsa yang berlatar belakang berbeda, baik dari segi suku, agama, ras maupun aliran. Keberhasilan Gus Dur tersebut membuktikan ajaran aliran ahli sunnah yang dianutnya telah mengkonstruksi pemikiran dan perjuangannya sebagai bapak pluralisme di Indonesia.
Dibalik tradisionalitas ajaran dan sejarah NU, ternyata ada elanvital dari pluralisme bangsa. Sikap, pemikiran dan tindakan Gus Dur dalam meretas jalan demokrasi dan pluralisme di Indonesia berawal dari serangkaian faham ala ahli sunnah wal jamaah. Faham yang dimaksud: faham i’tidal, tawazun, tasamuh, dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Gus Dur sesungguhnya merupakan contoh kongkrit dari manifestasi falsafah hidup NU. Tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Siapapun tidak bisa membantah bahwa Gus Dur adalah putra terbaik NU, yang melebihi tokoh-tokoh NU dimasa lalu dan dimasa kini. Belum ada sepanjang sejarah NU, ada tokoh NU yang berhasil mengkombinasikan antara keulamaan dan kepresidenan. Dimana otoritas agama dan negara menyatu dalam dirinya, walaupun usia pemerintahan Gus Dur tak lebih dari dua tahun.
Gus Dur telah menjadi teks sejarah NU yang dapat ditelaah dan dikaji oleh siapapun. Bagaimana Gus Dur berhasil membumikan falsafah Islam ala ahli sunnah wal jamah dalam konteks demokrasi dan pluralisme di Indonesia. Islam ternyata bagi Gus Dur bukan menjadi penghalang bagi terwujudnya demokrasi dan pluralisme di Indonesia tersebut. Sehingga, siapapun anak bangsa ini merasakan manfaat dari ajaran dimaksud.
Kabut duka telah menyelimuti bumi Indonesia. Di mana salah satu putra terbaiknya dipanggil keharibaan Allah Rabul Izzati. Gus Dur, sang Guru Bangsa, sampai sekarang masih tetap dikenang oleh kawan dan lawannya. Seakan-akan, Gus Dur seperti sumbermata air yang tak pernah kering untuk diperbincangkan, selalu hangat dan menarik. Ini tentu sabuah anugerah yang tak terhingga bagi NU khususnya, dan Indonesia umumnya.
Seorang tokoh pesantren yang tumbuh dan besar dengan tradisi pemikiran dan perjuangan pesantren. Namun tradisi itu pula yang mendorong yang bersangkutan malang melintang di dunia lain, tanpa kehilangan keyakinan dan jati dirinya sebagai anak waris pesantren. Bahkan melalui pemikiran dan perjuangannya di luar dunia pesantren, merasakan makna terdalam dari falsafah Islam ala ahli sunnah wal jama’ah.
Dunia mencatat, Gus Dur selalu “pasang badan” untuk menjaga keutuhan NKRI, membela kaum minoritas, menjamin kebebasan berkeyakinan dan melaksanakan keyakinan tersebut. Banyak kasus yang membuktikan hal itu, seperti kasus Papua, Kongfucu, dan Ahmadiyah. Di mana Gus Dur sangat jelas “pembelaannya” terhadap mereka, sekalipun menentang arus besar yang beresiko tidak populer di kalangan umat Islam, bahkan di kalangan NU sendiri. Itu resiko yang harus dibayar demi keyakinan demokrasi dan pluralisme yang dianut.
Dalam konteks ini, Gus Dur tidak ada duanya. Banyak tokoh yang takut dicaci-maki dan dibenci, sehingga memilih “menggadaikan diri”. Gus Dur justru sebaliknya. Disinilah keutamaannya. Maka dari itu, sulit menemukan tokoh yang sekaliber di NU. Seratus tahun mendatang belum tentu mendapatkan “anugerah” seorang mujaddid dari NU untuk bangsa layaknya Gus Dur.
Boleh dibilang, Gus Dur merupakan “ayatun min ayatillah”, tanda-tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Sebuah fenemona kemanusiaan yang sarat pesan. Bahwasannya, Islam ala ahli sunnah wal jama’ah adalah ajaran yang melindungi umat yang lain. NU adalah organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan yang menjadi rumah kemanusiaan, dan seterusnnya.
Tergambar jelas peran dan fungsi NU dalam menjaga dan melestarikan faham yang dianut oleh Gus Dur di atas. Gambaran tersebut seperti kias kiai Wahab Hasbullah yang mengibaratkan NU seperti ikan di laut yang tidak pernah asin walau airnya asin. Ini artinya, NU memiliki identitas yang jelas dalam mengembangkan faham dan perjuangan dalam kehidupan keagamaan dan keindonesiaan.
Kendati, NU bergumul dengan berbagai wacana dan perjuangan yang berbeda secara ekstrim dengan faham dan perjuangan NU selama ini, ia tidak pernah terpengaruh malahan mempengaruhi mainstream orang lain. Hal tersebut terbukti dengan jelas keterlibatan NU dalam menjaga keutuhan NKRI, tanpa mematikan sikap kritis terhadap berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada, melindungi kaum minoritas tanpa menjadi bagian kaum minoritas, serta menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa menciderai kemurnian agama.
Dengan demikian, NU telah berhasil memberikan manfaat bagi anak bangsa ini, sehingga ketika salah seorang tokoh seperti Gus Dur meninggal akan terasa sangat kehilangan. Dalam benak mereka timbul kegundahan yang luar biasa, akankah ada Gus Dur-Gus Dur baru di keluarga besar NU yang sangat care terhadap kedamaian umat beragama. Sebab, Indonesia masih belum benar-benar terbebas dari kekerasan yang berlatar belakang agama lantaran fanatisme yang membabi buta serta fasisme keberagamaan lainnya.
Memang, meninggalnya Gus Dur secara organisatoris dan struktural tidak memiliki dampak signifikan bagi keberlangsungan NU di masa depan. Karena, Gus Dur telah melakukan regenerasi NU sejak 1999, setelah estafet kepemimpinan PBNU di bawah duet KH Sahal Machfudz-KH Hasyim Muzadi. Namun, secara ideologis dan kultural kehilangan simbol utama yang telah berkeringat membesarkan NU dan meningkatkan harkat dan martabat kaum nahdliyin.
NU pasca Gus Dur adalah NU pasca krisis simbol. Belum ada simbol ketokohan yang menyamai beliau dalam segala hal. NU mesti memikirkan regenerasi dan kaderisasi yang lebih sistematis dan komprehensif. Ini bisa dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan NU, pelatihan-pelatihan kepemimpinan dan keorganisasian serta mendorong anak muda NU terlibat secara langsung dalam berbagai peran di internal NU maupun di eksternal NU, tanpa membeda-bedakan latar keluarga yang selama ini menjadi prefensi bagi penyusunan kepengurusan NU.


kelompok:
1.effendi yusuf
2.hans bimantara
3.aqil siroj
4.maqdum hidayat

KH.MAHFUDZ SIDDIQ (mbah shiddiq jember)

A. HIDUP YANG ISTIQOMAH
Kyai Shiddiq atau lebih dikenal dengan julukan Mbah Shiddiq. adalah seorang tokoh panutan. Mungkin, tidak banyak tokoh seperti beliau, dimana semua putranya yang masih mencapai usia muda/dewasa telah menjadi kyai dalam arti yang sebenarnya. Demikian pula para menantunya.
Putera-putranya yang sejak usia muda telah menjadi Kyai. antara lain: KH. Mansur, KH. Achmad Qusyairi, KH Machmud, KH. Mahfudz Shiddiq, K.H. Abdul Halim Shiddiq, KH. Abdullah bin KH. Umar, KH. Muhammad bin KH. Hasyim dan KH. Dhofir Salam. Keberhasilan tersebut tentu dipengaruhi pula oleh pola kehidupan sehari-hari dimasa hayatnya. Mungkin kita bertanya, bagaimana pola kehidupan Kyai Shiddiq sehingga Allah memberinya taqdir dengan dikaruniainya keturunan yang selanjutnya menjadi ibarat mutiara-mutiara.
Ternyata, Kyai Shiddiq adalah sosok yang sangat “istiqomah”, yaitu: tekun, telaten, ajeg, terus-menerus dengan tidak bosan-bosan dan mengamalkan apa saja yang dapat diamalkan. Dalam Surat Fushilat disebutkan:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Tuhan kami Allah” ” kemudian beristiqamah (meneguhkan pendirian-pendirian mereka tentang iman, melakukan kewajiban dan menjahui larangan-laranganNya), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan sorga yang telah dijanjikan A lloh kepadamu, (di dunia lewat rosul- rosul-Nya). Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia (dengan mengilhamkan kebenaran dan kebaikan kepadamu), dan akhirat (dengan pemberian syafa’at dan kemudahan). dimana kamu memperoleh yang kamu inginkan (dari segala kenikmatan) dan memperoleh pula yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penvayang “.

Hampir setiap hari Kyai Shiddiq selalu bangun pada jam 3 malam untuk sholat sunat tahajjud, riyadhah maupun sholat? sholat sunnah lainnya. Menjelang subuh, kyai keliling pondok membangunkan santri. Beliau keliling sambil membawa tongkat penjalin, damar ublik (obor) dan teko berisi air. Dengan tongkatnya beliau ketok pintu-pintu pondok para santri.Terkadang kyai membangunkan santri dengan cara menabuh blek gembreng, sehingga bersuara gaduh dan memekakkan telin?ga. Bahkan setiap santri yang terlelap tidurya, pasti akan menjadi sasaran guyuran air ceret yang selalu dibawanya.
Sesudah adzan (santri bernama Ryas yang ditugaskan sebagai Mu’adzin), kyai sendiri selalu memimpin pujian (dzikir) sebelum sholat subuh, setelah sebelumnya kyai melaksanakan sholat Qobliyah terlebih dahulu. Setelah berzikir/pujian kemudian melakukan sholat jamaah Subuh.

Untuk pedoman atau prinsip hi dup yang mudah diingat oleh anak cucu dan santrinya, Kyai Shiddiq memerintahkan Kyai Halim (putranya) menulis bebeapa dalil di tembok mussholla. tulisan yang ada ditembok sebelah atas pengimaman yaitu hadits sbb:

“Sebaik-baik perbuatan umatku adalah membaca .41 Quran dengan menyimak?melihat”.

Imam Al Ghozali menjelaskan dalam Ihya’ Uluumuddin: Bahwa keutamaan orang yang membaca Al Quran dengan melihat/menyimak?seraya merenungkan maknanya? adalah lebih baik dari pada dengan cara tidak melihat/menghafal. Membaca Al Quran dengan melihat tersebut memiliki 3 manfaat yaitu: Membaca, menyimak dan merenungkan artinya. Sedangkan dalam membaca Al Quran seraya menghafal hanyalah mendapat satu manfaat yakni membaca saja.
Disisi tembok sebelah kanan atas terdapat tulisan yang dikutip dari Idtab Jauharul Tauhid:
“Semua kebaikan itu terdapat pada pengikutan ?kepada?orang-o terdahulu. Dan semua keburukan itu ada pada reka-reka orang kemudian?

Imam Al Ghozali memberikan argumentasi tentang diatas yakni karena orang salaf (terdahulu) telah memiliki kelebihan dari pada orang kemudian (Kholaf). Kelebihan ada pada 3 hal:
a. lebih faham (Mam)
b. lebih hati-hati (Wara’)
c. lebih tajam pandangan hatinya (Abshar)

Disisi tembok sebelah kiri atas terdapat tulisan yang dikutip dari kitab kifayatul Atqiyak:

“Kamu sungguh jangan meninggalkan sholat berjamaah yang keutamaan pahalanya setinggi 27 derajat”

Banyak sekali manfaat Sholat jamaah. Dalam kitab Dzurotun Nasihin Rasulullah bersabda: “barang siapa melakukan sholat ( lima waktu berjamaah akan memperoleh lima hal yaitu kesatu ia tidak akan mengalami kemiskinan didunia, kedua dibebaskan oleh Allah dari azab kubur, ketiga: menerima kitab catatan amalannya dengan tangan kanan, keempat; akan melalui shirot secepat kilat dan kelima akan dimasukkan surga tanpa hisab dan azab”. Dalil di atas mempertegas sabda Rasul sbb:

“Tiap tiga orang yang bertempat didesa dan pegunungan lalu mereka tidak melakukan sholat jama ‘ah, maka mereka akan dipermaikan syetan”.

B. AURAT AMALIYAHNYA
Pada umumnya, wiridan baru akan selesai sampai surya muncul agak tinggi, baru kemudian kyai masuk ke “kamar khusus” di sebelah utara tempat imam di musholla. Di “Kamar khusus” itulah tempat Kyai Shiddiq menyepi, beribadah sholat sunnat dan lain-lain. Santri tak seorangpun yang berani masuk kamar tersebut. Karena dalam “kamar khusus” itu Kyai Shiddiq melakukan sholat Dluha dan sholat-sholat sunnah lainnya. Selesai sholat Kyai biasanya melanjutkan dengan mengaji Al-Qur’an dan membaca dalailul khairot. Selain sebagai seorang hafids, Kyai Shiddiq sangat istiqamah menghatamkan Alqur’an setiap minggu.

Secara runtut, batas-batas bacaan Al-Qur’an dalam seminggu sebagai berikut:
1. Hari Jum’at membaca Al Fatihah s. d Al-Maa idah
2. Hari Sabtu membaca Al-An’ am s.d At-Taubah
3. Hari Ahad membaca Yunus s. d Maryam
4. Hari Senin membaca Thaha s.d Al-Qashash
5. Hari Selasa membaca Al-Ankabut s.d Shaad
6. Hari Rabu membaca Az-Zumar s.d Ar-Rakhman
7. Hari Kamis membaca Waqi’ah s. d An-Naas

Sekitar pukul 08.00 sampai jam 09.00 pagi, Kyai mengajar Fasholatan dan Al-Qur’an. Kitab Fasholatan yang diajarkan adalah hasil karangan beliau senchn’. Biasanya ketika mengajar Fasholatan dan AI-Qur’an banyak menggunakan cara-cara sorogan. Usai sorogan Fasholatan dan Al-Qur’an, barulah Kyai masuk ke ndalem untuk sarapan pagi. Setelah itu, Kyai masih meneruskan kembali sholat-sholat sunnah, mengaji Al-Qur’an dan membaca Dalail.

Baru pads sekitar jam 10.00 sampai jam 12.00 siang Kyai Shiddiq mengajar ngaji kitab kuning. Banyak kitab yang beliau ajarkan, namun demikian Kyai membaginya menjadi:

1. Kitab-kitab yang tetap (permanen) diajarkan. Bila kitab ini sudah selesai lalu diulang kembali dari awal (dijadikan wiridan). Kitab-kitab yang tetap ini antara lain:
a. Fatchurrahman
Kitab Fatchurrahman ini berisi materi Tauhid yang pokok (semacam Aqidatul Awam) dan fiqih (semacam Safinatun Najah). Kitab ini ditulis oleh beliau sendiri dan diwajibkan bagi santri menghatamkannya sebelum ngaji kitab lainnya (kitab standard awal).

b. Kitab Fiqh antara lain
- Safinatun Najah
- Sullam Taufiq
- Taqrib

c. Kitab Tasawuf antara lain
- Bidayatul Hidayah
- lhya’ Ulumuddin

d. Kitab Tafsir Jalalain

e. Kitab Shohih Bukhori

2. Kitab-kitab yang tidak tetap (temporer) antara lain
a. Kitab-kitab Alat antara lain
- Alfiyah
Kitab Alfiyah terjemahan berbahasa Madura ini ditulis ketika mondok di Bangkalan.
- Ajurumiah
- Imrity
b. Kitab Tasawuf antara lain
- Nashoihud Diniyah
- Adabul Mar’ah yang ditulis dalam bahasa Jawa.
c. Kitab Rojabiyah
d. Kitab Bifadlol dan lain-lain.

Dalam pengajian kitab kuning ini, Kyai Shiddiq banyak menggunakan cara weton/bandongan. Cara Weton adalah cara pengajian kitab yang berasal dari istilah jawa, karena pada umumnya waktu pengajian disesuaikan dengan waktu-waktu tertentu seperti usai waktu sholat, dan sebagainya. Secara teknis, dalam pengajian cara weton ini Kyai membaca dan menerangkan kitab yang diperuntukkan secara massal. Para santrinya memperhatikan kitabnya sendiri sambil membuat catatan-catatan (tentang arti maupun keterangan dari kyai).

Selesainya pengajian, Kyai Shiddiq makan siang bersama? sama keluarga dan khaddamnya. Kemudian mengerjakan sholat Dzuhur secara berjama’ah. Sebelum sholat dzuhur, bersama? sama melakukan dzikir/pujian dan sholat sunnah Qobliyah.

Selesai sholat, lalu wiridan dan yang bacaannya lebih pendek dari dzikir ba’da subuh. Disambung dengan sholat sunnah Ba’diyah dzuhur dan mengajar ngaji Al-Qur’an dan Fasholatan. Santri yang dibolehkan ngaji Al-qur’an adalah yang sudah lulus (fasih/tartil bacaan) Syahadati, Fatihati, Tahiyyati, Sholati, adzan dan lqamah. Bila bacaan masih belum tartil tetap masih harus mengaji Fasholatan saja. Selesai mengajar, barulah Kyai Shiddiq istirahat (tidur) sebentar. Begitu bangun, Kyai Shiddiq melakukan sholat sunnah berkali-kali, mengaji Al-Qur’an dan membaca dalail. Amalan sholat sunnah yang istiqamah dilakukannya 100 rakaat dalam sehari-semalam serta mengkhatam dalail (matane) sehari sekali.

Waktu ashar tiba, beliau sholat sunnah berkali-kali dan para santri membaca syi’ir “Aqidatul ‘Awam”. Lalu sholat jama’ah Ashar dan Dzikir. Dzikir ba’ da sholat Ashar sama dengan dzikir ba’da sholat subuh.

Kemudiandilanjutkan dengan pengajian kitab Ihya ‘Ulumudin dan Shohih Bukhori”. Selesai mengajar, Kyai masuk ndalem melanjutkan mengaji Al-Qur’an dan dalail sampai masuk waktu Maghrib. Sebelum sholat jama’ah Maghrib, bersama-sama santri membaca pujian.

Dzikir ba’da sholat Maghrib sama dengan dzikir bada subuh. Selesai berdzikir dilanjutkan sholat sunnah Ba’diyah dan ngaji. pengajian ba’da sholat Maghrib adalah AI-Qur’an dan Fasholatan yang teknisnya diatur sebagai berikut:

1.Santri dewasa dan tartil bacaannya harus membaca Quran 1 juz, sehingga dalam sebulan sudah harus hatam. Tempat mereka di dalam musholla.
2.Santri bocah harus ngaji Al-Qur’an dan Fasholatan di luar langgar. Mereka diajar Badal Kyai yaitu Haji Baidlowi (lurah pondok asal Madura) dan Abdul Azis.

Selesai ngaji (tanpa turun dari langgar) lalu bersama-sama pujian qobliyah sholat Isya’ dan sholat sunnah rawatib.Kemudian melaksanakan sholat Isya’ berjama’ah dan dilanjutkan dengan wiridan dan sholat sunnat rowatib. Wiridannya sama dengan wirid ba’da sholat Ashar. Di ndalem Kyai Shiddiq melakukan sholat sunnat berkali-kali, ngaji Qur’an dan dalail sampai “sare” (tidur). Khusus pada malam Jum’at ba’da maghrib, kyai Shiddiq memimpin bacaan Barzanji. Dan pada malam Senin ba’da Maghrib, membaca Diba’. Semula pemba?caan Diba’ dilakukan malam Jurn’at dan Barzanji pada malam Senin.

Suatu saat ketika sedang memimpin pembacaan (pada malam Senin) itu, tiba-tiba Kyai Shiddiq melihat kehadiran Rasulullah Saw hadir dan berdiri di pintu. Spontan, Kyai Shiddiq merobah bacaannya dengan Diba’. Maka sejak peristiwa inilah, pembacaan Diba’ dilakukan setiap malam Senin dan malam Jum’at untuk Barzanji. Kemudian dilanjutkan dengan membaca Rotibul Haddad (Rotib Sayyid Abdullah Alawi Al-Haddad).

Aktivitas mengajar Kyai Shiddiq yang sangat padat itu dilakukan tatkala telah banyak santri yang ngaji pada beliau. Sebelumnya, Kyai Shiddiq membagi waktunya dengan berda?gang sebagai ma’isahnya (mata pencahariannya hidupnya). Kegiatan mengajar yang full tersebut membuat Kyai Shiddiq harus mengalihkan perhatian dan’ aktivitas berdagang pada santrinya dan putra-putranya.

Suatu waktu, Mbah Shiddiq akan berdagang kain sarung, songkok, dan lain-lain ke Arjasa. Nampaknya Kyai terlambat di stasiun kereta api, sehingga kereta yang pagi sudah berangkat. Menurut keterangan kepala stasiun, kereta berikutnya baru akan berangkat jam 10 siang. Ketika ditunggu kereta berikutnya, Kyai Shiddiq bertemu seorang Penghulu yang rumahnya di depan stasiun. Penghulu tersebut menawarkan jasa, agar Kyai Shiddiq berkenan menunggu kereta di rumahnya saja.

Menjelang jam 10.00 Kyai Shiddiq minta idzin untuk pamit,dan tanpa diduga temyata Penghulu tersebut memberi salam ?tempel satu rupiah (serupiah saat itu, kira-kira sama nilainya dengan Rp 100. 000,? sekarang/thn 2007). “Lho, kok sompean. shodagah satu rupiah pada saya. Maka saya nggak jadi ke Arjasa. Lha Wong niat saya ke Arjasa tersebut untuk mencari untung satu rupiah ini”, kata Mbah Shiddiq pada Penghulu itu, kemudian beliau pulang. Namun demikian, sebelum pulang, uang itu dihabiskan untuk belanja urusan dapur, karena memang Kyai Shiddiq sendirilah yang selalu berbelanja urusan dapur ke pasar. bukan Nyai. Tiba di ndalem, beliau tertidur karena kepayahan Dalam tidumya,, beliau bermimpi bertamu ke rumah Penghulu tadi. Di sana beliau disuguhi hidangan babi. Ketika bangun. kagetlah Kyai Shiddiq dan cepat-cepat memerintahkan santri untuk membuang semua “hasil belanja dapur tersebut”

Nampaknya, Kyai Shiddiq terus dijaga oleh Allah SWT dari makanan basil perbuatan haram karena sifat wiro’i beliau. Wiro’i adalah sikap yang selalu menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela, seperti makruh dan subhat (tidak jelas, apakah dibolehkan oleh agama atau tidak), terlebih lagi haram yang jelas dilarang. Mbah Siddiq tidak berkenan mengajar kitab menggunakan papan tulis, sebab ayat-ayat Al-Quran yang ditulis papan yang kemudian dibapus.. berjatuhan. Ini kan sama dengan menelantarkan lembaran Mushaf yang robek

Kyai Shiddiq juga sangat perhatian terhadap penampilan or?ang. Pada suatu hari Kyai Yusuf dari Madura sowan kepada Kyai Shiddiq. Kyai Yusuf tetap membiarkan rambutnya agak panjang (gondrong) dan kumisnya lebat hingga melebihi bibir. Setelah bersalaman, langsung beliau berkata: “Poron panje?nengan eparingah ilmu/maukah kau kuberi ilmu? “Alhamdulillah ?” jawab, si tamu dengan suka citanya. Lalu Kyai Shiddiq berkata: “Tak sahe panjenengan Kyahe, ngobuh obuk/Tidak baik bagi kyai, memelihara rambut”. Kemudian beliau berikan gunting dan Kyai Yusuf diminta menggunting rambutnya saat itu juga. Semua anak dan menantu serta santri? santrinya diwajibkan oleh Kyai Shiddiq “menggundul rambut” kepala. Yang diperkenankan/disunnahkan hanyalah memelihara janggut. Bahkan, Kyai Muhammad bin Hasyim (menantunya) dimarahi Kyai Shiddiq karena mernelihara rambut sedikit seperti tentara di kepalanya.

Demikian pula dengan merokok, Kyai Shiddiq kurang senang jika ada orang/tamu apalagi santri ataupun anaknya yang merokok di hadapan beliau. Kyai Mahfudz Shiddiq pernah merelakan sak celananya bolong terbakar, karena menyimpan rokok yang sedang menyala, tatkala Kyai Shiddiq menemuinya. Kyai Shiddiq memang kurang senang ada yang merokok, ketika masih ngaji pada Kyai Abdurrohim, Sepanjang Sidoarjo.

Sebagaimana keblasaannya di pondok, Kyai Shiddiq selalu mengisi jeding Kyai Rohim pada pagi buta. Suatu hari, selesai mengisi jeding, Kyai Shiddiq pergi ke sungai sambil merokok klobot. Sedang asyik merokok, menyebabkan ketinggalan Sholat berjama’ah Subuh. Kyai Shiddiq akhirnya bersembunyi takut kena marah Kyai Rohim karena tidak berjama’ah.

Sejak peristiwa itulah, Kyai Shiddiq berjanji menghindari merokok. “Tak ada barang yang melebihi kejelekan merokok. Demi Allah aku mengharamkan diriku merokok” katanya. Mbah Shiddiq memiliki sikap, kesenangan dan perilaku sebagai benikut:
I. Ahli silaturrohim, khususnya pada para Sayyid/Habib, `Aulia’ dan Ulama. Diantara kesenangan bersilaturohmi ini antara lain ‘.
a. Selalu gembira dan bersyukur bila kedatangan tamu, bahkan selalu menghidangkan makan pada tamunya.
b. Senang mengawinkan jejaka-gadis.
c. Bila silaturrohmi pada orang miskin, hanya minta air putih saja.

2. Mengerjakan hal-hal yang sunnah antara lain :
a. Sholat-sholat sunnah, ngaji Alqur’an, Dalail dan selalu berdzikir
“Bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Alloh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan telanjang “. (QS AIi Imron: 190-191)

b. Memotong rambut, kumis dan kuku pada hari. Kamis.
c. Membersihkan sisa-sisa nasi yang dimakan. Bahkan selalu menjilat tangan, bila selesai makan. Itu menunjukkan syukur terhadap nikmat/karunia Allah Swt.

?Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu”. (QS Ibrohim: -7)
d. Saat makan, beliau selalu mencicipi garam sebelum dan sesudahnya. karena ini disunnahkan oleh agama. Pada suatu hari, Kyai Shiddiq, Kyai Yasin (Pasuruan) dan Kyai Nu’man (Lumajang) sedang makan jambu. Ada di antara 2 kyai itu yang, berkomentar “tidak manis-nya jambu tersebut. Spontan Kyai Shiddiq menegur: “Yang menentukan manis-tidaknya jambu ini adalah Allah. Jambu ini merupakan nikmat Allah pada kita. Jadi wajib bagi kita mensyukurinya.
d. Mematikan lampu pakai kipas (tidak dltiup).
3. Menjauhi hal-hal yang makruh, muru’ah dan Haram, misal
a. Merokok
b. Tidak suka melihat orang lain memiliki rambut, kumis dan kuku yang panjang.
c. Marah bila tahu ada orang, kentut sambil tertawa.
d. Marah, bila tahu laki-laki dan wanita yang bukan muhrimnya bertemu muka.
e. Dalam bepergian selalu menghindari lewat depan gereja.
f. Tidak membolehkan Kusir mencambuki kudanya.
g. Tidak senang musik/lagu-lagu, misal .- gambus.

4. Mendo’akan anaknya, cukup dengan memohon agar kelak menjadi orang yang bertaqwa.

5. Yang sangat diperhatikan pada anak dan santrinya adalah sholat. Bila putranya tak nampak dalam sholat berjama’ah, maka akan diusut sedetailnya tentang “kenapa tidak sholat jama’ah”.

6. Dan lain-lain.

Menurut beberapa informasi, Kyai Shiddiq 4 kali bertemu dengan Rasulullah Saw dan berkali-kali bertemu Rasulullah dalam mimpi. Sulit sekali ditakdirkan bertemu Rosulullah SAW kecuali Waliyullah. Imam Ghozali berkata “bertemu Rasulullah secara Ya Qodlo maka ia memiliki kasyqf’. Sayyid Ahmad Al Badawi ra. berkata: -Syarat yang harus di perbuat oleh orang yang ingin menjadi Waliulloh adalah benar benar dalam syari’at. Ada dua belas tanda-tanda yaitu :

1. Benar-benar mengenal Allah Swt (yakni, benar benar mengerti tauhid dan mantab iman keyakinan kepadaAllah).
2. Benar-benar menjaga perintah Allah Swrt.
3. Berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Saw.
4. Selalu berwudhu (jika berhadas segera memperbarui wudhu?)
5. Rela menerima hukum qadla’ Allah SWT. dalam suka duka.
6. Yakin terhadap semua janji Allah Swt.
7. Putus harapan dari semua apa yang ada di tangan manusia
8. Tabah. sabar menanggung bebagai derita dan gangguan orang.
9. Rajin mentaati perintah Allah SWT
10. Kasih sayang terhadap semua makhluq Allah SWT
11. Tawadlu, merendah diri terhadap yang lebih tua atau lebih muda.
12. Selalu menyadari bahwa setan itu musuh utama, sedang sarang setan itu dalam hawa nafsu dan selalu berbisik mempengaruhi.

C. PEMAKAMAN TURBAN CONDRO
Kyai Shiddiq, akhirnya wafat pada hari Ahad Pahing jam 17 40 tanggal 2 Romadlon 1533H (9 Desember 1934 M) pada usia +80 tahun. Saat jenazah, disemayamkan di ndalem Talangsari, datanglah 11 orang yang menawarkan tanahnva sebagai makam beliau. Sebelas orang itu antara lain:
1 . H. Ilyas, Gebang
2. Sadinatun, Gebang
3. Sa’id, Gebang
4. Riynah, Gebang
5. Samiroh, asal Bulu Tuban
6. Amir, asal Bulu Tuban
7. Sakiman, asal Bulu Tuban
8. KH. Yusuf, asal Bulu Tuban (mertua Kyai Shiddiq)
9. H. Anwar, Jatian ? Pakusari
10. H. Abdul Hamid, Rowo – Wirowongso.
11. H Samsul Arifin, Talangsari.

Namun agar adil maka akhirnva dilotre/diundi sebanyak 3 kali. Ternyata undian jatuh pada tanah H. Samsul Arifin di Turbah – Condro. Ribuan orang melayat Mbah Shiddiq menuju peristirahatannva di turbah Condro Jember. Hingga sekarang, banyak kaum muslimin ziarah di maqam Kyai Shiddiq. Para penziarah selalu membaca Al-qur’an. Tahlil dan bertawassul pada beliau. Kyai Shiddiq bagaikan “mutiara”, yang menurunkan banyak mutiara, menyinari kegelapan kota Jember.

GARIS KETURUNAN MBAH SIDDIQ
1. KH. Muhammad Shiddiq
2. bin Raden Pangeran Mas Sayyid KH. Abdullah (Lasem)
3. bin Raden Pangeran Sayyid KH. Sholeh (Raden Tirto Widjoyo, Lasem)
4. bin Sayyid KH. Asy?ari (Raden Pangeran Asyri, Lasem)
5. bin Sayyid KH. Muhammad Adzro?i (Raden Pangeran Bardla?i, Lasem)
6. bin Sayyid KH. Yusuf (Raden Yusuf, Pulandak Lasem)
7. bin Sayyid Abdurrachman (Mbah Sambu)
8. bin Sayyid Muhammad Hasyim (sunan Ngalogo)
9. bin Sayyid Abdurrachman Basyaiban (Mangkunegoro III)
10. bin Sayyid Abdullah
11. bin Sayyid Umar
12. bin Sayyid Muhammad
13. bin Sayyid Achmad
14. bin Sayyid Abu Bakar Basyiban
15. bin Sayyid Muhammad Asy?adullah
16. bin Sayyid Hasan At – Taromi
17. bin Sayyid Ali
18. bin Sayyid Muhammad Al Faqih Muqoddam
19. bin Sayyid Ali
20. bin Sayyid Muhammad Shohibi Mirbat (Zafar, Hadramaut)
21. bin Sayyid Ali Khaliq Qosim (Tarim, Hadramaut)
22. bin Sayyid Alwi (Bait Zubair, Hadramaut)
23. bin Sayyid Muhammad (Bait Zubair, Hadramaut)
24. bin Sayyid Alwi (Samal, Hadramaut)
25. bin Sayyid Abdullah Ubaidillah (Al – Ardli Burt Hadramaut)
26. bin Sayyid Ahmad Al – Muhajir (Basra Tarim, Hadramaut)
27. bin Sayyid ?Isa An Naqib (Basrah, Iraq)
28. bin Sayyid Muhammad An – Naqib (Basrah, Iraq)
29. bin Sayyid Ali Al ?uraidi (Madinah)
30. bin Sayyid Ja?far Ash – Shodiq (Madinah)
31. bin Sayyid Muhammad Al – baqier (Madinah)
32. bin Sayyid Ali Zainal Abidin (Madinah)
33. bin Sayyidina Husein
34. binti Fatimah Az Zahroh (Isteri Sayyidina Ali Al – Murtadlo)
35. bin Rosulullah Muhammad SAW


KELAS: Xa
M.MUDZAKIR ROIS
ACHNAD SYUKRON
http://mbakdloh.files.wordpress.com/2009/05/kiai-hasyim.jpg
Biografi KH Hasyim Asy'ari - Perintis Nahdlatul Ulama (NU)
Biografi KH Hasyim Asy'ari

Nama Lengkap: KH Hasyim Asy'ari
Tanggal Lahir: 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)
Tempat Lahir : Demak, Jawa Tengah
Wafat: Jombang, Jawa Timur, 7 September 1947
Ayah: Kiai Asyari
Ibu: Halimah
Istri:
Nyai Nafiqoh
Nyai Masruroh


Anak:
Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholiq), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurroh, Muhammad Yusuf, Abdul Qodir, Fatimah, Chotijah, Muhammad Ya’kub.


KH Hasyim Asy'ari lahir pada tanggal 10 April 1875 di Demak, Jawa Tengah. Beliau merupakan pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan juga perintas salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, KH Hasyim Asy'ari mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kiai Asyari dan Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.


Karena Hasrat tak puas akan ilmu yang dimilikinya, Beliaupun belajar dari pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.


Di tahun 1892, KH Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy'ari.

Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisiona lainnya, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa. Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.


Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy'ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.

Setelah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.

Referensi: http://www.tokohindonesia.com dan http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Asyari


LUTHFIANA U. A.

Biografi KH Hasyim Asy'ari - Perintis Nahdlatul Ulama (NU)
Biografi KH Hasyim Asy'ari

Nama Lengkap: KH Hasyim Asy'ari
Tanggal Lahir: 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)
Tempat Lahir : Demak, Jawa Tengah
Wafat: Jombang, Jawa Timur, 7 September 1947
Ayah: Kiai Asyari
Ibu: Halimah
Istri:
Nyai Nafiqoh
Nyai Masruroh


Anak:
Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholiq), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurroh, Muhammad Yusuf, Abdul Qodir, Fatimah, Chotijah, Muhammad Ya’kub.


KH Hasyim Asy'ari lahir pada tanggal 10 April 1875 di Demak, Jawa Tengah. Beliau merupakan pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan juga perintas salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, KH Hasyim Asy'ari mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kiai Asyari dan Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.


Karena Hasrat tak puas akan ilmu yang dimilikinya, Beliaupun belajar dari pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.


Di tahun 1892, KH Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy'ari.

Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisiona lainnya, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa. Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.


Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy'ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.

Setelah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.

Referensi: http://www.tokohindonesia.com dan http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Asyari

luthfiana u. a.

Jumat, 22 Oktober 2010

organisai NU

Tujuan

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[sunting] Usaha

1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.

Struktur

1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)

Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Jaringan

Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:

* 33 Wilayah
* 439 Cabang
* 15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri
* 5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
* 47.125 Ranting

NU dan politik

Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.

NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.

Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.


kelompok mirror:-effendy
-aqil
-maqdum
SUSUNAN PENGURUS NAHDLATUL ULAMA CABANG ISTIMEWA REPUBLIK ARAB MESIR, MASA KHIDMAT 2002 - 2004



MUSTASYAR

Saifullah Abdussamad, MA.

Muhammad Haras Baco, Lc.

Muhammad Salim Affandi, Lc.

Muhlashon Jalaluddin, Lc.

Ahmad Fauzan Arraazi, Lc.



SYURIYAH
Rais
dr. Mustafid Dahlan
Wakil Rais
Faiz Syukron Makmun, Lc.
Wakil Rais
Mustofa Abdurrahman, MA.
Wakil Rais
Abdul Ghofur Maimun, Lc.


Katib

Muhammad Aunul Abid Shah, Lc.

Wakil Katib

Rozi Indrafuddin, Lc.

Wakil Katib

Muhammad Luthfi Thomafi


Wakil Katib

Jamaluddin Abd. Kholiq, Lc.

A`wan

M. Mukhlis M. Hanafi, MA.

Irwan Maulana, Lc.

Fadlolan Musyaffa, Lc.

Mukhlis Kasyful Anwar, Lc.

Ahmad Sarudji Erfan, Lc.

Muhammad Ali bin Umar, Lc.

Muhammad Amin Samad, MA.

Tabhan Syamsu Rijal, Lc.

Ahmad Nadhif, Lc.

Ahlidin Jamal, Lc.

Cecep Sholahuddin, Lc.

Zainul Abidin Cengkalo, Lc., Dpl.

Abdul Hayyi al-Kattany, Lc.

Ummi Badriyah

Muzayyanah Mu`tashim MA.



TANFIDZIYAH

Ketua


Bukhori SA, Lc.

Wakil Ketua I

Muhammad Guntur Romli

Wakil Ketua II

Saenong Tebba

Wakil Ketua III

Hayyin Mundzar, Lc.






Sekretaris


Fakhrudin Aziz

Wakil Sekretaris I

Triyana Fauzi

Wakil Sekretaris II

Aang Asy`ari

Wakil Sekretaris III

Ahmad Izzudin Abdurrahman






Bendahara


Lutfi Chakim

Wakil Bendahara I

Royani Marhan

Wakil Bendahara II

Ahmad Basyir Beick

Wakil Bendahara III

Fathurrahman





Lembaga LD NU

(Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama)
Ketua
Shocheh Ha.
Charies Haq (kordinator)
Muzakki Yamani
Yuanda Kusuma
Udy Andriyati


Divisi Hubungan Sosial & Organisasi
Thoyyib Bahtiar (kordinator)
Sholahuddin
Abdillah As`ad
Yudi Hadiamsyah
M. Sholahuddin
Ahmad Zahron
Muhammad Amien
Ahmad Robith Muhajir
Kasyifaturrahmah



LPD NU

(Lembaga Penggalian Dana Nahdlatul Ulama)

Ketu
Abdul Karim


Divisi Ekonomi

M. Lailatul Qodri (kordinator)

Mifdhol Muthahar

Abdul Mutholib

Aris Nabawi

Salim Kasmany

Ahmad Kasban



Divisi Penggalian Dana


Muhammad Hambali (kordinator)

Eko Prayudi

Ahmad Muslimin

Torkisma Pangabean

Hudallah Juraij

Ajid Ajidin

Bambang

Khoirun Nihlah

Istiqomah



Lakpesdam NU(Lembaga Kajian & Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama)


Ketua
Zainul Ma`arif

Divisi Pengkaderan
Sukron Makmun (kordinator)

Ja`far Shodiq

Hasyim Adnan

Fahmi Zulfikar

Ahmad Solusin

Anwariyah Sayuti



Divisi Kajian & Riset


M. Yusuf (kordinator)

Mujahiddin Muhayyan

Jajang Hidayat

Agus Hidayatulloh

Ainun Najib

Fadillah Ulfa

Nur Baitillah

Noor Hanna



LSB NU

(Lembaga Seni & Budaya Nahdlatul Ulama)


Ketua


Ali Masyhar




Fuad Syafri

Abdul Basith

Limra Zainuddin

Agus Ma`arif

Abdul Ghofur

Alha Rahmatina

Evi Fachriyah

Sumayya Ba'abduh


Lajnah

>


LT NU(Lajnah Ta'lif wa Nasyr Nahdlatul Ulama)
Ketua
Thola`at Imam



Divisi Penerbitan

Abdullah Ubaid (kordinator)

Nur Hasan Wahyudi

Amirullah Khotib

Hasdin Has

Muhammad Afif Zamroni

Ahmad Aqil

M. Anis Masduqi

Yulaicha Fitria

Nur Astimaya



Divisi Terjemah


A. Minan Abdul Jalil (kordinator)

Luqman Hakim

Mustafa Zaman

Indra Gunawan

Saifulloh Yazid

Aas Subarkah

Fatma Fitrasya

Lilis Nur Hidayati

Athiya Fitriyawati

Wira Kautsari



LBM NU

(Lajnah Bahtsul Masail Diniyah Nahdlatul Ulama)


Ketua
Khalid Dawam, Lc.
Nafi`uddin Asnawi
Shobari
Imam Muttaqin
A. Gholban Aunirrohman
Khusnul Haq
Na`imah Nurdin



Badan Otono

Fatayat



Ketua
Yulaicha Fitria

Sekretaris
Udy Andriyati

Bendahara
ISNU


Ketua
Dede Permanan

Sekretar

Bendahara



TAREKAT

Ketua
Saifuddin

Sekretaris


M. Taufiq

Bendahara
Wafi



Nama Anggota :
Annisaa Puspita Sari
Laila Nur hidayati
Ulfa Miftahul Jannah

sejarah nu international

Sejarah NU
Latar belakang internasional


Pada Februari 1924, pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-19 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia muslim. Pada akhir abad ke-19, klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.


Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam praktiknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah menyebabkan banyak masyarakat muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen—sekalipun hanya bersifat simbolik—semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah.


Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Syarif Husein (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada 1916). Dia membentuk semacam dewan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah, dan mengadakan sebuah kongres haji (mu’tamar al-hajj) di Mekkah pada Juli 1924, dengan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang pertama dari serangkaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an. Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husein. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, menyerbu Makkah dan membuyarkan keinginan-keinginannya. Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa’ud, sementara Husein—yang sudah melarikan diri ke luar negeri—tak punya kekuasaan sama sekali.


Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama Al-Azhar, yang didorong oleh Raja Mesir, Fu’ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridha, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada Sarekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia saat itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926.


Dalam pandangan Ibnu Sa’ud, persiapan Kongres Kairo, dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta.


Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu di mana di Indonesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam. Di tahun-tahun 1922-1926, para aktifis muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut Kongres Al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis terlalu banyak.


Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke Kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agustus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Makkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rezim Sa’udi yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan.


Tidak satupun dari kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridha, adalah salah seorang penyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir. Bagaimanaun juga, Ibnu Sa’ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi banyak menghancurkan banyak makam di dalam dan di sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktik-praktik keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang sangat mencemaskan.


Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridha di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan Wahabi. Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu’ad dalam kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Inggris untuk menguasai dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik, hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibnu Sa’ud. Kaum tradisionalis juga memilih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: kedudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting dari pada semua permasalahan khilafah.


Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibnu Sa’ud bahwa dia akan menghormati madzhab-madzhab fikih ortodoks dan membolehkan berbagai praktik keagamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah—di mana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar—sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi Kiai biasanya menghabiskan beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika fikih Syafi’i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting.


Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.
Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan nama Nahdlatoel ‘Oelama..



kelas xA:
_achmad syukron m
_m.mudzakir rois
_hans bimantara
_habib husain

profil lp ma'arif

I. SEJARAH SINGKAT

Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (PP LP Ma'arif NU) merupakan salah satu aparat departementasi di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Didirikannya lembaga ini di NU bertujuan untuk mewujudkan cita-cita pendidikan NU. Bagi NU, pendidikan menjadi pilar utama yang harus ditegakkan demi mewujudkan masyarakat yang mandiri. Gagasan dan gerakan pendidikan ini telah dimulai sejak perintisan pendirian NU di Indonesia. Dimulai dari gerakan ekonomi kerakyatan melalui Nadlatut Tujjar (1918), disusul dengan Tashwirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, hingga Nahdlatul Wathan (1924) yang merupakan gerakan politik di bidang pendidikan, maka ditemukanlah tiga pilar penting bagi Nadhlatul Ulama yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1334 H, yaitu: (1) wawasan ekonomi kerakyatan; (2) wawasan keilmuan, sosial, budaya; dan (3) wawasan kebangsaan.

Untuk merealisasikan pilar-pilar tersebut ke dalam kehidupan bangsa Indonesia, NU secara aktif melibatkan diri dalam gerakan-gerakan sosial-keagamaan untuk memberdayakan umat. Di sini dirasakan pentingnya membuat lini organisasi yang efektif dan mampu merepresentasikan cita-cita NU; dan lahirlah lembaga-lembaga dan lajnah �??seperti Lembaga Dakwah, Lembaga Pendidikan Ma'arif, Lembaga Sosial Mabarrot, Lembaga Pengembangan Pertanian, dan lain sebagainya--, yang berfungsi menjalankan program-program NU di semua lini dan sendi kehidupan masyarakat. Gerakan pemberdayaan umat di bidang pendidikan yang sejak semula menjadi perhatian para ulama pendiri ( the founding fathers ) NU kemudian dijalankan melalui lembaga yang bernama Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU). Lembaga ini bersama-sama dengan jam'iyah NU secara keseluruhan melakukan strategi-strategi yang dianggap mampu meng- cover program-program pendidikan yang dicita-citakan NU.

Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU) merupakan aparat departentasi Nahdlatul Ulama (NU) yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan pendidikan Nahdlatul Ulama, yang ada di tingkat Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, dan Pengurus Majelis Wakil Cabang. Kedudukan dan fungsi LP Ma'arif NU diatur dalam BAB VI tentang Struktur dan Perangkat Organisasi pasal 1 dan 2; serta ART BAB V tentang Perangkat Organisasi. LP Ma'arif NU dalam perjalannya secara aktif melibatkan diri dalam proses-proses pengembangan pendidikan di Indonesia. Secara institusional, LP Ma'arif NU juga mendirikan satuan-satuan pendidikan mulai dari tingkat dasar, menangah hingga perguruan tinggi; sekolah yang bernaung di bawah Departemen Nasional RI (dulu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI) maupun madrasah; maupun Departemen Agama RI) yang menjalankan Hingga saat ini tercatat tidak kurang dari 6000 lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air bernaung di bawahnya, mulai dari TK, SD, SLTP, SMU/SMK, MI, MTs, MA, dan beberapa perguruan tinggi.

II. VISI DAN MISI

2.1. Visi

*
Dengan mengambangkan sistem pendidikan dan terus berupaya mewujudkan pendidikan yang mandiri dan membudayakan ( civilitize ), LP Ma'arif NU akan menjadi pusat pengembangan pendidikan bagi masyarakat, baik melalui sekolah, madrasah, perguruan tinggi, maupun pendidikan masyarakat.
*
Merepresentasikan perjuangan pendidikan NU yang meliputi seluruh aspeknya, kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
*
Menciptakan komunitas intitusional yang mampu menjadi agent of educational reformation dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan pembangunan masyarakat beradab.


2.2. Misi

*
Menciptakan tradisi pendidikan melalui pemberdayaan manajemen pendidikan yang demokratis, efektif dan efisien, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal
*
Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan, terutama pada masyarakat akar rumput ( grass root ), sehingga terjalin sinegri antar kelompok masyarakat dalam memajukan tingkat pendidikan
*
Memperhatikan dengan sungguh-sungguh kualitas tenaga kependidikan, baik kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi melalui penyetaraan dan pelatihan serta penempatan yang proporsional, dengan dukungan moral dan material.
*
Mengembangkan system informasi lembaga pendidikan sebagai wahana penyelenggaraan komunikasi, informasi dan edukasi serta penyebarluasan gagasan, pengalaman dan hasil-hasil kajian maupun penelitian di bidang ilmu, sains dan teknologi lewat berbagai media.
*
Memperkuat jaringan kerja sama dengan instansi pemerintah, lembaga/institusi masyarakat dan swasta untuk pemberdayaan lembaga pendidikan guna meningkatkan kualitas pendidikan maupuh subyek-subyek yang terlibat, langsung maupun tidak langsung, dalam proses-proses pendidikan.



III. KEBIJAKAN DAN STRATEGI

3.1. Kebijakan

*
Menata dan mensosialisasikan kepengurusan LP Maarif NU.
*
Melanjutkan penyusunan database satuan pendidikan di lingkungan NU.
*
Mempertegas identitas pendidikan (Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi) Ma'arif NU.
*
Meningkatkan madrasah/sekolah unggul dan perguruan tinggi di masing-masing wilayah.
*
Meningkatkan hubungan dan jaringan ( networking ) kerja sama dengan lembaga Internasional

3.2. Strategi

*
Menguatkan soliditas dan komitmen Pengurus Ma'arif NU di semua tingkatannya;
*
Menggalang kekuatan struktural dan kultural warga NU (nahdliyin) dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan Ma'arif NU;
*
Mendirikan badan-badan usaha di bawah naungan PP LP Ma'arif NU untuk mencukupi kebutuhan pendanaan;
*
Meningkatkan partisipasi pendidikan warga NU (nahdliyin) melalui berbagai bentuk kerja sama yang saling menguntungkan;
*
Membuka dan memperluas jaringan kerja sama dengan berbagai instansi dalam dan luar negeri, baik pemerintah maupun swasta.



IV. POLA HUBUNGAN ORGANISASI

1. Konsultatif

Hubungan kelembagaan yang bersifat konsultatif adalah hubungan antara Pimpinan LP Ma'arif NU dengan Dewan Penasehat pada masing-masing tingkatannya. Selain itu hubungan konsultatif juga dibangun antara LP Ma'arif dengan para ulama, tokoh, dan sesepuh di kalangan Nahdlatul Ulama. Hubungan seperti ini diperlukan untuk meminta pertimbangan-pertimbangan yang bersifat moral di luar kebijakan dasar konstitusional organisasi dalam rangka mengembangkan program-program LP Ma'arif NU

2. Koordinatif-Konsolidatif

Hubungan koordinatif-konsolidatif adalah hubungan antar Pimpinan LP Ma'arif NU yang secara bertingkat dapat diurutkan dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Wakil Cabang. Hubungan koordinatif-konsolidatif juga dilakukan antara Pimpinan LP Ma'arif NU dengan sekolah, madrasah, maupun perguruan tinggi yang menjadi binaannya.

3. Instruktif

Hubungan instruktif adalah hubungan antar Pengurus NU dan Pimpinan LP Ma'arif NU yang secara bertingkat dapat diurutkan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama kepada Pimpinan Pusat LP Ma'arif, Pengurus Wilayah NU kepada Pimpinan Wilayah LP Ma'arif, Pengurus Cabang NU kepada Pimpinan Cabang LP Ma'arif.

siswoko Xa

PENDIDIKAN NU

Kontemplasi keumatan dan kebangsaan patut dilakukan oleh segenap warga NU menjelang hari ulang tahun (Milad) ke-83 NU, 31 Januari. Pergeseran besar kian terasa dalam tubuh jamiyah terbesar di Tanah Air ini. NU kini mengalami dilema di domain kepeloporan sosial, pendidikan, dan keagamaan. Arus besar yang menjadi muara pergolakan di tubuh NU adalah keterlibatan tokoh-tokohnya dalam politik praktis. Dilihat dari genealoginya, NU memang pernah bermetamorfosis menjadi parpol Islam pada masa Orde Lama dan mengantongi suara signifikan sebagai parpol baru waktu itu. Pada era reformasi, kian banyak stakeholder NU, baik secara organisatoris maupun secara kultural, yang terlibat di domain politik. Pada saat bersamaan, mereka menjadi bagian penting dari politik praktis legislatif dan pelbagai perhelatan pilkada.

Di satu sisi, transisi demokrasi kian memberikan peluang kepada warga nahdliyin dan para tokohnya berpolitik hingga mampu memosisikan diri sebagai bagian penting dari produk kebijakan publik. Namun, di sisi lain, perlu disadari bahwa arus politik telah pula memberi dampak tidak konstruktif bagi pertumbuhan pengembangan pendidikan dan SDM NU secara keseluruhan yang menjadi misi utama didirikannya NU.

Kegenitan berpolitik pada gilirannya merambah ke hampir seluruh lapisan struktural dan kultural NU. Kini, politik seolah menjadi tren tersendiri bagi para ulama dan tokoh NU. Para kiai di pesantren-pesantren menjadi gemar berpolitik meski hanya sebagai legilimator atas dukung-mendukung dalam proses pilkada dan pemilu. Kesibukan baru ini dirasa mengasyikkan sehingga tak jarang bagi mereka yang melupakan santri dan jamaahnya. Sebaliknya, santri dan para jamaah sengaja dilibatkan ke urusan politik. Perilaku demikian disadari telah mengikis peran-peran pencerahan NU di aras pendidikan dan komitmen sosial.

Komitmen pendidikan
Sejarah gerakan NU sebenarnya dilatari oleh komitmen kependidikan, keumatan, dan kebangsaan. Sejak awal, NU telah memelopori pendirian lembaga-lembaga pendidikan. Setidaknya, halakah, majelis taklim dengan beragam variasinya, sampai keberadaan pesantren dengan seluruh kontribusinya. Bahkan, sebelum NU lahir menjadi organisasi (jamiyah), fondasi ke-NU-an lebih dulu ada. Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa embrio awalnya berbentuk Taswirul Afkar (1919), Nahdlatut Tujjar (1918), dan Nahdlatul Wathan (1961). Bukan semata jamiyah, melainkan institusi pendidikan yang dipelopori oleh KH A Wahab Chasbullah.

Setelah resmi menjadi organisasi, program pemekaran dan penyebaran pendidikan pun kian berkembang, utamanya bermodel pesantren dan madrasah. Karena itu, lembaga pendidikan asli yang lahir dari rahim NU adalah pesantren sebagai model pendidikan khas tertua dan terkuat di Tanah Air.

Fakta sejarah itu menjadi bukti dari basis falsafah NU: ad da'wah wa at tarbiyah (dakwah dan pendidikan) dan mabarrot (pengabdian sosial). Dalam rumusan hasil muktamar ke-30 NU tahun 1999 misalnya, ditegaskan bahwa pendidikan bagi NU adalah upaya pengembangan masyarakat sebagai manusia aktual yang mampu mengemban fungsi kekhalifahan di bumi (khalifatun fil ardhi).

Dalam praktik pendidikan yang dapat dilihat dari model pesantren, NU memosisikan anak didik sebagai subjek yang mencari pengetahuan dan membentuk dirinya melalui kreasi dan potensi intelegensinya. Santri tidak ditempatkan sebagai tabungan pengetahuan atau teknologi yang hanya menjadi lintasan transfer pengetahuan, melainkan sebagai aktor yang senantiasa berproses secara kognitif, afektif, atau psikomotorik menuju insan kamil yang diidealkan oleh ajaran Islam.

Pendidikan dalam perspektif NU merupakan high education yang benar-benar menempatkan fitrah manusia sebagai makhluk dan bagian dari masyarakat yang peka budaya dan memahami kehadirannya sebagai khalifah Tuhan. Artinya, balancing antara dua posisi: sebagai hamba dan pemimpin, menjadi ultimate goal pendidikan NU. Karena itu, dari sisi pendidikan ini, lahirlah sosok manusia yang mempunyai komitmen sosial tinggi. Pengabdian kepada masyarakat dengan pelbagai variasinya yang didukung dengan metode pendekatan kultural merupakan kunci sukses pendidikan NU.

Dari sini, lahirlah metode dialogis dengan prinsip syura (sharing). Sebagai contoh, hingga kini, di pesantren masih kuat tradisi bahtsul masail yang didesain dengan cara musyawarah bersama antarsantri dalam membahas pelbagai persoalan aktual yang dipersandingkan dengan dinamika agama dan hukum Islam.

Di wilayah afektif, pesantren sangat mengutamakan 'makna batin' yang mewujud dalam kalimat qaulan baligha, qaulan ma'rufan, qaulan syadidan, seperti yang termaktub dalam ajaran Alquran. Semua itu menyiratkan semangat dialogis yang tinggi nilainya.

Di wilayah praktis dan keterlibatan sosial kemasyarakatan, santri dimotivasi untuk lebih eksis, lebih baik, dan lebih bertanggung jawab terhadap sekecil apa pun aktivitas yang dilakukannya. Santri sengaja ditempa menjadi pemimpin, bukan hanya bagi kekuatan yang ada di dalam dirinya, melainkan juga bagi kekuatan yang ada di luar dirinya. Yaitu, sebuah metode individuasi yang diilhami dari pesan rasul kullukum ra'in wa kullukum mas'ulun an ra'iyyatihi (kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang kalian pimpin).

Distorsi SDM
Idealitas pendidikan dan komitmen sosial yang sejak semula dimiliki oleh NU kini kian terkikis. Generasi emas NU yang melahirkan para bapak bangsa kini kian langka karena kesibukannya para tokoh NU berpolitik. Pendidikan agak terlupakan. Padahal, pada saat bersamaan, mereka mempunyai tanggung jawab untuk mendidik generasi muda NU yang masih nyantri. Kualitas mereka pun kian hari mengalami penurunan, tak seperti para pendahulunya. Mereka kini menjadi generasi instan yang kehilangan kebijaksanaan (wisdom) para pendahulunya.

Di tengah masyarakat yang kehausan akan kedalaman nilai-nilai keislaman yang dipahami oleh NU, jangan sampai umat kehilangan pegangan sehingga mencari panutan lain yang tidak sesuai dengan ajaran Islam NU, ahlussunnah wal jamaah. Pendidikan NU harus menjadi penjaga moral Islam yang sejalan dengan Islam Indonesia.

Pendulum kembali ke aras pendidikan perlu disampaikan, suka atau tidak suka, terhadap eksistensi NU sebagai jamiyah atau sebagai bagian dari kultur masyarakat. Fungsi dan peran pendidikan ini musti dikembalikan agar ekistensi NU benar-benar terasa oleh masyarakat luas. Jangan sampai idealitas pendidikan NU ini terkikis hanya karena syahwat politik yang berlebihan. Pilihannya hanya dua: mengembalikan NU ke aras pendidikannya dan mempertajam komitmen sosialnya atau membiarkan NU menjadi jamiyah besar yang kian kehilangan roh pendidikannya. Mari, kita renungkan!

Penulis: Anggota F-PKB DPR RI dan Warga NU

Sumber: Harian Republika, Rabu 28 Januari 2009


NAMA KELOMPOK :

AULIA ASSITA

DINDA AYU IS WARDANI

LAILATUL KHASANAH

MUTIAH YUNITA ATIKANDARI

XA SMA AL MUAYYAD SURAKARTA