Jumat, 22 Oktober 2010

organisai NU

Tujuan

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[sunting] Usaha

1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.

Struktur

1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)

Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Jaringan

Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:

* 33 Wilayah
* 439 Cabang
* 15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri
* 5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
* 47.125 Ranting

NU dan politik

Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.

NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.

Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.


kelompok mirror:-effendy
-aqil
-maqdum
SUSUNAN PENGURUS NAHDLATUL ULAMA CABANG ISTIMEWA REPUBLIK ARAB MESIR, MASA KHIDMAT 2002 - 2004



MUSTASYAR

Saifullah Abdussamad, MA.

Muhammad Haras Baco, Lc.

Muhammad Salim Affandi, Lc.

Muhlashon Jalaluddin, Lc.

Ahmad Fauzan Arraazi, Lc.



SYURIYAH
Rais
dr. Mustafid Dahlan
Wakil Rais
Faiz Syukron Makmun, Lc.
Wakil Rais
Mustofa Abdurrahman, MA.
Wakil Rais
Abdul Ghofur Maimun, Lc.


Katib

Muhammad Aunul Abid Shah, Lc.

Wakil Katib

Rozi Indrafuddin, Lc.

Wakil Katib

Muhammad Luthfi Thomafi


Wakil Katib

Jamaluddin Abd. Kholiq, Lc.

A`wan

M. Mukhlis M. Hanafi, MA.

Irwan Maulana, Lc.

Fadlolan Musyaffa, Lc.

Mukhlis Kasyful Anwar, Lc.

Ahmad Sarudji Erfan, Lc.

Muhammad Ali bin Umar, Lc.

Muhammad Amin Samad, MA.

Tabhan Syamsu Rijal, Lc.

Ahmad Nadhif, Lc.

Ahlidin Jamal, Lc.

Cecep Sholahuddin, Lc.

Zainul Abidin Cengkalo, Lc., Dpl.

Abdul Hayyi al-Kattany, Lc.

Ummi Badriyah

Muzayyanah Mu`tashim MA.



TANFIDZIYAH

Ketua


Bukhori SA, Lc.

Wakil Ketua I

Muhammad Guntur Romli

Wakil Ketua II

Saenong Tebba

Wakil Ketua III

Hayyin Mundzar, Lc.






Sekretaris


Fakhrudin Aziz

Wakil Sekretaris I

Triyana Fauzi

Wakil Sekretaris II

Aang Asy`ari

Wakil Sekretaris III

Ahmad Izzudin Abdurrahman






Bendahara


Lutfi Chakim

Wakil Bendahara I

Royani Marhan

Wakil Bendahara II

Ahmad Basyir Beick

Wakil Bendahara III

Fathurrahman





Lembaga LD NU

(Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama)
Ketua
Shocheh Ha.
Charies Haq (kordinator)
Muzakki Yamani
Yuanda Kusuma
Udy Andriyati


Divisi Hubungan Sosial & Organisasi
Thoyyib Bahtiar (kordinator)
Sholahuddin
Abdillah As`ad
Yudi Hadiamsyah
M. Sholahuddin
Ahmad Zahron
Muhammad Amien
Ahmad Robith Muhajir
Kasyifaturrahmah



LPD NU

(Lembaga Penggalian Dana Nahdlatul Ulama)

Ketu
Abdul Karim


Divisi Ekonomi

M. Lailatul Qodri (kordinator)

Mifdhol Muthahar

Abdul Mutholib

Aris Nabawi

Salim Kasmany

Ahmad Kasban



Divisi Penggalian Dana


Muhammad Hambali (kordinator)

Eko Prayudi

Ahmad Muslimin

Torkisma Pangabean

Hudallah Juraij

Ajid Ajidin

Bambang

Khoirun Nihlah

Istiqomah



Lakpesdam NU(Lembaga Kajian & Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama)


Ketua
Zainul Ma`arif

Divisi Pengkaderan
Sukron Makmun (kordinator)

Ja`far Shodiq

Hasyim Adnan

Fahmi Zulfikar

Ahmad Solusin

Anwariyah Sayuti



Divisi Kajian & Riset


M. Yusuf (kordinator)

Mujahiddin Muhayyan

Jajang Hidayat

Agus Hidayatulloh

Ainun Najib

Fadillah Ulfa

Nur Baitillah

Noor Hanna



LSB NU

(Lembaga Seni & Budaya Nahdlatul Ulama)


Ketua


Ali Masyhar




Fuad Syafri

Abdul Basith

Limra Zainuddin

Agus Ma`arif

Abdul Ghofur

Alha Rahmatina

Evi Fachriyah

Sumayya Ba'abduh


Lajnah

>


LT NU(Lajnah Ta'lif wa Nasyr Nahdlatul Ulama)
Ketua
Thola`at Imam



Divisi Penerbitan

Abdullah Ubaid (kordinator)

Nur Hasan Wahyudi

Amirullah Khotib

Hasdin Has

Muhammad Afif Zamroni

Ahmad Aqil

M. Anis Masduqi

Yulaicha Fitria

Nur Astimaya



Divisi Terjemah


A. Minan Abdul Jalil (kordinator)

Luqman Hakim

Mustafa Zaman

Indra Gunawan

Saifulloh Yazid

Aas Subarkah

Fatma Fitrasya

Lilis Nur Hidayati

Athiya Fitriyawati

Wira Kautsari



LBM NU

(Lajnah Bahtsul Masail Diniyah Nahdlatul Ulama)


Ketua
Khalid Dawam, Lc.
Nafi`uddin Asnawi
Shobari
Imam Muttaqin
A. Gholban Aunirrohman
Khusnul Haq
Na`imah Nurdin



Badan Otono

Fatayat



Ketua
Yulaicha Fitria

Sekretaris
Udy Andriyati

Bendahara
ISNU


Ketua
Dede Permanan

Sekretar

Bendahara



TAREKAT

Ketua
Saifuddin

Sekretaris


M. Taufiq

Bendahara
Wafi



Nama Anggota :
Annisaa Puspita Sari
Laila Nur hidayati
Ulfa Miftahul Jannah

sejarah nu international

Sejarah NU
Latar belakang internasional


Pada Februari 1924, pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-19 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia muslim. Pada akhir abad ke-19, klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.


Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam praktiknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah menyebabkan banyak masyarakat muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen—sekalipun hanya bersifat simbolik—semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah.


Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Syarif Husein (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada 1916). Dia membentuk semacam dewan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah, dan mengadakan sebuah kongres haji (mu’tamar al-hajj) di Mekkah pada Juli 1924, dengan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang pertama dari serangkaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an. Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husein. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, menyerbu Makkah dan membuyarkan keinginan-keinginannya. Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa’ud, sementara Husein—yang sudah melarikan diri ke luar negeri—tak punya kekuasaan sama sekali.


Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama Al-Azhar, yang didorong oleh Raja Mesir, Fu’ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridha, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada Sarekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia saat itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926.


Dalam pandangan Ibnu Sa’ud, persiapan Kongres Kairo, dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta.


Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu di mana di Indonesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam. Di tahun-tahun 1922-1926, para aktifis muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut Kongres Al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis terlalu banyak.


Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke Kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agustus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Makkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rezim Sa’udi yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan.


Tidak satupun dari kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridha, adalah salah seorang penyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir. Bagaimanaun juga, Ibnu Sa’ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi banyak menghancurkan banyak makam di dalam dan di sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktik-praktik keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang sangat mencemaskan.


Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridha di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan Wahabi. Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu’ad dalam kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Inggris untuk menguasai dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik, hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibnu Sa’ud. Kaum tradisionalis juga memilih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: kedudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting dari pada semua permasalahan khilafah.


Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibnu Sa’ud bahwa dia akan menghormati madzhab-madzhab fikih ortodoks dan membolehkan berbagai praktik keagamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah—di mana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar—sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi Kiai biasanya menghabiskan beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika fikih Syafi’i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting.


Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.
Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan nama Nahdlatoel ‘Oelama..



kelas xA:
_achmad syukron m
_m.mudzakir rois
_hans bimantara
_habib husain

profil lp ma'arif

I. SEJARAH SINGKAT

Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (PP LP Ma'arif NU) merupakan salah satu aparat departementasi di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Didirikannya lembaga ini di NU bertujuan untuk mewujudkan cita-cita pendidikan NU. Bagi NU, pendidikan menjadi pilar utama yang harus ditegakkan demi mewujudkan masyarakat yang mandiri. Gagasan dan gerakan pendidikan ini telah dimulai sejak perintisan pendirian NU di Indonesia. Dimulai dari gerakan ekonomi kerakyatan melalui Nadlatut Tujjar (1918), disusul dengan Tashwirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, hingga Nahdlatul Wathan (1924) yang merupakan gerakan politik di bidang pendidikan, maka ditemukanlah tiga pilar penting bagi Nadhlatul Ulama yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1334 H, yaitu: (1) wawasan ekonomi kerakyatan; (2) wawasan keilmuan, sosial, budaya; dan (3) wawasan kebangsaan.

Untuk merealisasikan pilar-pilar tersebut ke dalam kehidupan bangsa Indonesia, NU secara aktif melibatkan diri dalam gerakan-gerakan sosial-keagamaan untuk memberdayakan umat. Di sini dirasakan pentingnya membuat lini organisasi yang efektif dan mampu merepresentasikan cita-cita NU; dan lahirlah lembaga-lembaga dan lajnah �??seperti Lembaga Dakwah, Lembaga Pendidikan Ma'arif, Lembaga Sosial Mabarrot, Lembaga Pengembangan Pertanian, dan lain sebagainya--, yang berfungsi menjalankan program-program NU di semua lini dan sendi kehidupan masyarakat. Gerakan pemberdayaan umat di bidang pendidikan yang sejak semula menjadi perhatian para ulama pendiri ( the founding fathers ) NU kemudian dijalankan melalui lembaga yang bernama Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU). Lembaga ini bersama-sama dengan jam'iyah NU secara keseluruhan melakukan strategi-strategi yang dianggap mampu meng- cover program-program pendidikan yang dicita-citakan NU.

Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU) merupakan aparat departentasi Nahdlatul Ulama (NU) yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan pendidikan Nahdlatul Ulama, yang ada di tingkat Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, dan Pengurus Majelis Wakil Cabang. Kedudukan dan fungsi LP Ma'arif NU diatur dalam BAB VI tentang Struktur dan Perangkat Organisasi pasal 1 dan 2; serta ART BAB V tentang Perangkat Organisasi. LP Ma'arif NU dalam perjalannya secara aktif melibatkan diri dalam proses-proses pengembangan pendidikan di Indonesia. Secara institusional, LP Ma'arif NU juga mendirikan satuan-satuan pendidikan mulai dari tingkat dasar, menangah hingga perguruan tinggi; sekolah yang bernaung di bawah Departemen Nasional RI (dulu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI) maupun madrasah; maupun Departemen Agama RI) yang menjalankan Hingga saat ini tercatat tidak kurang dari 6000 lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air bernaung di bawahnya, mulai dari TK, SD, SLTP, SMU/SMK, MI, MTs, MA, dan beberapa perguruan tinggi.

II. VISI DAN MISI

2.1. Visi

*
Dengan mengambangkan sistem pendidikan dan terus berupaya mewujudkan pendidikan yang mandiri dan membudayakan ( civilitize ), LP Ma'arif NU akan menjadi pusat pengembangan pendidikan bagi masyarakat, baik melalui sekolah, madrasah, perguruan tinggi, maupun pendidikan masyarakat.
*
Merepresentasikan perjuangan pendidikan NU yang meliputi seluruh aspeknya, kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
*
Menciptakan komunitas intitusional yang mampu menjadi agent of educational reformation dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan pembangunan masyarakat beradab.


2.2. Misi

*
Menciptakan tradisi pendidikan melalui pemberdayaan manajemen pendidikan yang demokratis, efektif dan efisien, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal
*
Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan, terutama pada masyarakat akar rumput ( grass root ), sehingga terjalin sinegri antar kelompok masyarakat dalam memajukan tingkat pendidikan
*
Memperhatikan dengan sungguh-sungguh kualitas tenaga kependidikan, baik kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi melalui penyetaraan dan pelatihan serta penempatan yang proporsional, dengan dukungan moral dan material.
*
Mengembangkan system informasi lembaga pendidikan sebagai wahana penyelenggaraan komunikasi, informasi dan edukasi serta penyebarluasan gagasan, pengalaman dan hasil-hasil kajian maupun penelitian di bidang ilmu, sains dan teknologi lewat berbagai media.
*
Memperkuat jaringan kerja sama dengan instansi pemerintah, lembaga/institusi masyarakat dan swasta untuk pemberdayaan lembaga pendidikan guna meningkatkan kualitas pendidikan maupuh subyek-subyek yang terlibat, langsung maupun tidak langsung, dalam proses-proses pendidikan.



III. KEBIJAKAN DAN STRATEGI

3.1. Kebijakan

*
Menata dan mensosialisasikan kepengurusan LP Maarif NU.
*
Melanjutkan penyusunan database satuan pendidikan di lingkungan NU.
*
Mempertegas identitas pendidikan (Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi) Ma'arif NU.
*
Meningkatkan madrasah/sekolah unggul dan perguruan tinggi di masing-masing wilayah.
*
Meningkatkan hubungan dan jaringan ( networking ) kerja sama dengan lembaga Internasional

3.2. Strategi

*
Menguatkan soliditas dan komitmen Pengurus Ma'arif NU di semua tingkatannya;
*
Menggalang kekuatan struktural dan kultural warga NU (nahdliyin) dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan Ma'arif NU;
*
Mendirikan badan-badan usaha di bawah naungan PP LP Ma'arif NU untuk mencukupi kebutuhan pendanaan;
*
Meningkatkan partisipasi pendidikan warga NU (nahdliyin) melalui berbagai bentuk kerja sama yang saling menguntungkan;
*
Membuka dan memperluas jaringan kerja sama dengan berbagai instansi dalam dan luar negeri, baik pemerintah maupun swasta.



IV. POLA HUBUNGAN ORGANISASI

1. Konsultatif

Hubungan kelembagaan yang bersifat konsultatif adalah hubungan antara Pimpinan LP Ma'arif NU dengan Dewan Penasehat pada masing-masing tingkatannya. Selain itu hubungan konsultatif juga dibangun antara LP Ma'arif dengan para ulama, tokoh, dan sesepuh di kalangan Nahdlatul Ulama. Hubungan seperti ini diperlukan untuk meminta pertimbangan-pertimbangan yang bersifat moral di luar kebijakan dasar konstitusional organisasi dalam rangka mengembangkan program-program LP Ma'arif NU

2. Koordinatif-Konsolidatif

Hubungan koordinatif-konsolidatif adalah hubungan antar Pimpinan LP Ma'arif NU yang secara bertingkat dapat diurutkan dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Wakil Cabang. Hubungan koordinatif-konsolidatif juga dilakukan antara Pimpinan LP Ma'arif NU dengan sekolah, madrasah, maupun perguruan tinggi yang menjadi binaannya.

3. Instruktif

Hubungan instruktif adalah hubungan antar Pengurus NU dan Pimpinan LP Ma'arif NU yang secara bertingkat dapat diurutkan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama kepada Pimpinan Pusat LP Ma'arif, Pengurus Wilayah NU kepada Pimpinan Wilayah LP Ma'arif, Pengurus Cabang NU kepada Pimpinan Cabang LP Ma'arif.

siswoko Xa

PENDIDIKAN NU

Kontemplasi keumatan dan kebangsaan patut dilakukan oleh segenap warga NU menjelang hari ulang tahun (Milad) ke-83 NU, 31 Januari. Pergeseran besar kian terasa dalam tubuh jamiyah terbesar di Tanah Air ini. NU kini mengalami dilema di domain kepeloporan sosial, pendidikan, dan keagamaan. Arus besar yang menjadi muara pergolakan di tubuh NU adalah keterlibatan tokoh-tokohnya dalam politik praktis. Dilihat dari genealoginya, NU memang pernah bermetamorfosis menjadi parpol Islam pada masa Orde Lama dan mengantongi suara signifikan sebagai parpol baru waktu itu. Pada era reformasi, kian banyak stakeholder NU, baik secara organisatoris maupun secara kultural, yang terlibat di domain politik. Pada saat bersamaan, mereka menjadi bagian penting dari politik praktis legislatif dan pelbagai perhelatan pilkada.

Di satu sisi, transisi demokrasi kian memberikan peluang kepada warga nahdliyin dan para tokohnya berpolitik hingga mampu memosisikan diri sebagai bagian penting dari produk kebijakan publik. Namun, di sisi lain, perlu disadari bahwa arus politik telah pula memberi dampak tidak konstruktif bagi pertumbuhan pengembangan pendidikan dan SDM NU secara keseluruhan yang menjadi misi utama didirikannya NU.

Kegenitan berpolitik pada gilirannya merambah ke hampir seluruh lapisan struktural dan kultural NU. Kini, politik seolah menjadi tren tersendiri bagi para ulama dan tokoh NU. Para kiai di pesantren-pesantren menjadi gemar berpolitik meski hanya sebagai legilimator atas dukung-mendukung dalam proses pilkada dan pemilu. Kesibukan baru ini dirasa mengasyikkan sehingga tak jarang bagi mereka yang melupakan santri dan jamaahnya. Sebaliknya, santri dan para jamaah sengaja dilibatkan ke urusan politik. Perilaku demikian disadari telah mengikis peran-peran pencerahan NU di aras pendidikan dan komitmen sosial.

Komitmen pendidikan
Sejarah gerakan NU sebenarnya dilatari oleh komitmen kependidikan, keumatan, dan kebangsaan. Sejak awal, NU telah memelopori pendirian lembaga-lembaga pendidikan. Setidaknya, halakah, majelis taklim dengan beragam variasinya, sampai keberadaan pesantren dengan seluruh kontribusinya. Bahkan, sebelum NU lahir menjadi organisasi (jamiyah), fondasi ke-NU-an lebih dulu ada. Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa embrio awalnya berbentuk Taswirul Afkar (1919), Nahdlatut Tujjar (1918), dan Nahdlatul Wathan (1961). Bukan semata jamiyah, melainkan institusi pendidikan yang dipelopori oleh KH A Wahab Chasbullah.

Setelah resmi menjadi organisasi, program pemekaran dan penyebaran pendidikan pun kian berkembang, utamanya bermodel pesantren dan madrasah. Karena itu, lembaga pendidikan asli yang lahir dari rahim NU adalah pesantren sebagai model pendidikan khas tertua dan terkuat di Tanah Air.

Fakta sejarah itu menjadi bukti dari basis falsafah NU: ad da'wah wa at tarbiyah (dakwah dan pendidikan) dan mabarrot (pengabdian sosial). Dalam rumusan hasil muktamar ke-30 NU tahun 1999 misalnya, ditegaskan bahwa pendidikan bagi NU adalah upaya pengembangan masyarakat sebagai manusia aktual yang mampu mengemban fungsi kekhalifahan di bumi (khalifatun fil ardhi).

Dalam praktik pendidikan yang dapat dilihat dari model pesantren, NU memosisikan anak didik sebagai subjek yang mencari pengetahuan dan membentuk dirinya melalui kreasi dan potensi intelegensinya. Santri tidak ditempatkan sebagai tabungan pengetahuan atau teknologi yang hanya menjadi lintasan transfer pengetahuan, melainkan sebagai aktor yang senantiasa berproses secara kognitif, afektif, atau psikomotorik menuju insan kamil yang diidealkan oleh ajaran Islam.

Pendidikan dalam perspektif NU merupakan high education yang benar-benar menempatkan fitrah manusia sebagai makhluk dan bagian dari masyarakat yang peka budaya dan memahami kehadirannya sebagai khalifah Tuhan. Artinya, balancing antara dua posisi: sebagai hamba dan pemimpin, menjadi ultimate goal pendidikan NU. Karena itu, dari sisi pendidikan ini, lahirlah sosok manusia yang mempunyai komitmen sosial tinggi. Pengabdian kepada masyarakat dengan pelbagai variasinya yang didukung dengan metode pendekatan kultural merupakan kunci sukses pendidikan NU.

Dari sini, lahirlah metode dialogis dengan prinsip syura (sharing). Sebagai contoh, hingga kini, di pesantren masih kuat tradisi bahtsul masail yang didesain dengan cara musyawarah bersama antarsantri dalam membahas pelbagai persoalan aktual yang dipersandingkan dengan dinamika agama dan hukum Islam.

Di wilayah afektif, pesantren sangat mengutamakan 'makna batin' yang mewujud dalam kalimat qaulan baligha, qaulan ma'rufan, qaulan syadidan, seperti yang termaktub dalam ajaran Alquran. Semua itu menyiratkan semangat dialogis yang tinggi nilainya.

Di wilayah praktis dan keterlibatan sosial kemasyarakatan, santri dimotivasi untuk lebih eksis, lebih baik, dan lebih bertanggung jawab terhadap sekecil apa pun aktivitas yang dilakukannya. Santri sengaja ditempa menjadi pemimpin, bukan hanya bagi kekuatan yang ada di dalam dirinya, melainkan juga bagi kekuatan yang ada di luar dirinya. Yaitu, sebuah metode individuasi yang diilhami dari pesan rasul kullukum ra'in wa kullukum mas'ulun an ra'iyyatihi (kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang kalian pimpin).

Distorsi SDM
Idealitas pendidikan dan komitmen sosial yang sejak semula dimiliki oleh NU kini kian terkikis. Generasi emas NU yang melahirkan para bapak bangsa kini kian langka karena kesibukannya para tokoh NU berpolitik. Pendidikan agak terlupakan. Padahal, pada saat bersamaan, mereka mempunyai tanggung jawab untuk mendidik generasi muda NU yang masih nyantri. Kualitas mereka pun kian hari mengalami penurunan, tak seperti para pendahulunya. Mereka kini menjadi generasi instan yang kehilangan kebijaksanaan (wisdom) para pendahulunya.

Di tengah masyarakat yang kehausan akan kedalaman nilai-nilai keislaman yang dipahami oleh NU, jangan sampai umat kehilangan pegangan sehingga mencari panutan lain yang tidak sesuai dengan ajaran Islam NU, ahlussunnah wal jamaah. Pendidikan NU harus menjadi penjaga moral Islam yang sejalan dengan Islam Indonesia.

Pendulum kembali ke aras pendidikan perlu disampaikan, suka atau tidak suka, terhadap eksistensi NU sebagai jamiyah atau sebagai bagian dari kultur masyarakat. Fungsi dan peran pendidikan ini musti dikembalikan agar ekistensi NU benar-benar terasa oleh masyarakat luas. Jangan sampai idealitas pendidikan NU ini terkikis hanya karena syahwat politik yang berlebihan. Pilihannya hanya dua: mengembalikan NU ke aras pendidikannya dan mempertajam komitmen sosialnya atau membiarkan NU menjadi jamiyah besar yang kian kehilangan roh pendidikannya. Mari, kita renungkan!

Penulis: Anggota F-PKB DPR RI dan Warga NU

Sumber: Harian Republika, Rabu 28 Januari 2009


NAMA KELOMPOK :

AULIA ASSITA

DINDA AYU IS WARDANI

LAILATUL KHASANAH

MUTIAH YUNITA ATIKANDARI

XA SMA AL MUAYYAD SURAKARTA

Latar Belakang berdirinya NU dari Internasional

Latar belakang internasional


Pada Februari 1924, pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-19 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia muslim. Pada akhir abad ke-19, klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.


Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam praktiknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah menyebabkan banyak masyarakat muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen—sekalipun hanya bersifat simbolik—semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah.


Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Syarif Husein (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada 1916). Dia membentuk semacam dewan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah, dan mengadakan sebuah kongres haji (mu’tamar al-hajj) di Mekkah pada Juli 1924, dengan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang pertama dari serangkaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an. Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husein. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, menyerbu Makkah dan membuyarkan keinginan-keinginannya. Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa’ud, sementara Husein—yang sudah melarikan diri ke luar negeri—tak punya kekuasaan sama sekali.


Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama Al-Azhar, yang didorong oleh Raja Mesir, Fu’ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridha, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada Sarekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia saat itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926.


Dalam pandangan Ibnu Sa’ud, persiapan Kongres Kairo, dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta.


Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu di mana di Indonesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam. Di tahun-tahun 1922-1926, para aktifis muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut Kongres Al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis terlalu banyak.


Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke Kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agustus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Makkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rezim Sa’udi yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan.


Tidak satupun dari kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridha, adalah salah seorang penyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir. Bagaimanaun juga, Ibnu Sa’ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi banyak menghancurkan banyak makam di dalam dan di sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktik-praktik keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang sangat mencemaskan.


Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridha di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan Wahabi. Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu’ad dalam kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Inggris untuk menguasai dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik, hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibnu Sa’ud. Kaum tradisionalis juga memilih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: kedudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting dari pada semua permasalahan khilafah.


Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibnu Sa’ud bahwa dia akan menghormati madzhab-madzhab fikih ortodoks dan membolehkan berbagai praktik keagamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah—di mana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar—sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi Kiai biasanya menghabiskan beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika fikih Syafi’i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting.


Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.
Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan nama Nahdlatoel ‘Oelama

Nama anggota :

Annisaa' Puspita Sari
Laila Nur Hidayati
Ulfa Miftahul Jannah

SEJARAH NU

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
[sunting] Paham keagamaan

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

kELOMPOK 3

Senin, 11 Oktober 2010

sejarah dan semua unsur organisasi nu

Masjid Jombang, tempat kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.


K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Daftar pimpinan
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (pimpinan tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
No Nama Awal Jabatan Akhir Jabatan
1 KH Mohammad Hasyim Asy'arie
1926
1947

2 KH Abdul Wahab Chasbullah
1947
1971

3 KH Bisri Syansuri
1972
1980

4 KH Muhammad Ali Maksum
1980
1984

5 KH Achmad Muhammad Hasan Siddiq
1984
1991

KH Ali Yafie (pjs)
1991
1992

6 KH Mohammad Ilyas Ruhiat
1992
1999

7 KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz
1999
sekarang
Basis pendukung
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
Organisasi
Tujuan
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usaha
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Struktur
1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Jaringan
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:
33 Wilayah
439 Cabang
15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri
5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
47.125 Ranting
NU dan politik
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.
NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.

nama:hanif sandya E.P
klas:Xb
SMA AL-MUAYYAD

kepengurusan NU

Nahdlatul Ulama

Bendera Nahdlatul Ulama
Pembentukan 31 Januari 1926
Jenis Organisasi
Tujuan Keagamaan dan sosial (Islam)
Kantor pusat DKI Jakarta, Indonesia

Wilayah layanan Indonesia

Keanggotaan 80 juta
Rais Aam Syuriah K.H. Ahmad Sahal Mahfudz

Situs web Situs resmi

Nahdlatul Ulama
Artikel ini adalah bagian dari seri
Islam



Rasul


Nabi Muhammad SAW
.
Kitab Suci


Al-Qur'an
.
Rukun Islam

1. Syahadat • 2. Salat • 3. Puasa
4. Zakat • 5. Haji

Rukun Iman

Iman kepada : 1. Allah
2. Al-Qur'an • 3. Nabi •4. Malaikat
5. Hari Akhir • 6. Qada & Qadar

Tokoh Islam

Muhammad SAW
Nabi & Rasul • Sahabat
Ahlul Bait

Kota Suci

Mekkah • & • Madinah

Kota suci lainnya

Yerusalem • Najaf • Karbala
Kufah • Kazimain
Mashhad •Istanbul • Ghadir Khum

Hari Raya

Idul Fitri • & • Idul Adha

Hari besar lainnya

Isra dan Mi'raj • Maulid Nabi
Asyura

Arsitektur

Masjid •Menara •Mihrab
Ka'bah • Arsitektur Islam

Jabatan Fungsional
Khalifah •Ulama •Muadzin
Imam•Mullah•Ayatullah • Mufti

Hukum Islam

Al-Qur'an •Hadist
Sunnah • Fiqih • Fatwa
Syariat • Ijtihad

Manhaj

Salafush Shalih

Mazhab

1. Sunni :
Hanafi •Hambali
Maliki •Syafi'i

2. Syi'ah :
Dua Belas Imam
Ismailiyah•Zaidiyah

3. Lain-lain :
Ibadi • Khawarij
Murji'ah•Mu'taziliyah

Lihat Pula
Portal Islam

Indeks mengenai Islam

lihat • bicara • sunting

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Sejarah
• 2 Paham keagamaan
• 3 Daftar pimpinan
• 4 Basis pendukung
• 5 Organisasi
o 5.1 Tujuan
o 5.2 Usaha
o 5.3 Struktur
o 5.4 Jaringan
• 6 NU dan politik
• 7 Lihat pula
• 8 Referensi
• 9 Pranala luar

Sejarah


Masjid Jombang, tempat kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.


K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Daftar pimpinan
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (pimpinan tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
No Nama Awal Jabatan Akhir Jabatan
1 KH Mohammad Hasyim Asy'arie
1926
1947

2 KH Abdul Wahab Chasbullah
1947
1971

3 KH Bisri Syansuri
1972
1980

4 KH Muhammad Ali Maksum
1980
1984

5 KH Achmad Muhammad Hasan Siddiq
1984
1991

KH Ali Yafie (pjs)
1991
1992

6 KH Mohammad Ilyas Ruhiat
1992
1999

7 KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz
1999
sekarang
Basis pendukung
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
Organisasi
Tujuan
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usaha
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Struktur
1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Jaringan
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:
• 33 Wilayah
• 439 Cabang
• 15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri
• 5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
• 47.125 Ranting
NU dan politik
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.
NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.





NAMA: GHANI KAMALA RIZQI
KELAS: XB

Kepengurusan NU.....^_^

Kepengurusan NU
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Daftar isi

• 1 Sejarah
• 2 Paham keagamaan
• 3 Daftar pimpinan
• 4 Basis pendukung
• 5 Organisasi
o 5.1 Tujuan
o 5.2 Usaha
o 5.3 Struktur
o 5.4 Jaringan
• 6 NU dan politik
• 7 Lihat pula
• 8 Referensi
• 9 Pranala luar

Sejarah


Masjid Jombang, tempat kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.


K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
[sunting] Daftar pimpinan
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (pimpinan tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
No Nama Awal Jabatan Akhir Jabatan
1 KH Mohammad Hasyim Asy'arie
1926
1947

2 KH Abdul Wahab Chasbullah
1947
1971

3 KH Bisri Syansuri
1972
1980

4 KH Muhammad Ali Maksum
1980
1984

5 KH Achmad Muhammad Hasan Siddiq
1984
1991

KH Ali Yafie (pjs)
1991
1992

6 KH Mohammad Ilyas Ruhiat
1992
1999

7 KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz
1999
sekarang
Basis pendukung
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
Organisasi
[sunting] Tujuan
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[sunting] Usaha
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
[sunting] Struktur
1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
[sunting] Jaringan
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:
• 33 Wilayah
• 439 Cabang
• 15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri
• 5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
• 47.125 Ranting
[sunting] NU dan politik
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.
NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.

Nama: Ivan maulana
Kelas: X B

Sejarah Kepengurusan Nahdatul Ulama

Nahdlatul Ulama

Bendera Nahdlatul Ulama
Pembentukan 31 Januari 1926
Jenis Organisasi
Tujuan Keagamaan dan sosial (Islam)
Kantor pusat DKI Jakarta, Indonesia

Wilayah layanan Indonesia

Keanggotaan 80 juta
Rais Aam Syuriah K.H. Ahmad Sahal Mahfudz

Situs web Situs resmi
































Sejarah
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Masjid Jombang, tempat kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama.
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.


K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Daftar pimpinan
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (pimpinan tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
No Nama Awal Jabatan Akhir Jabatan
1 KH Mohammad Hasyim Asy'arie
1926
1947

2 KH Abdul Wahab Chasbullah
1947
1971

3 KH Bisri Syansuri
1972
1980

4 KH Muhammad Ali Maksum
1980
1984

5 KH Achmad Muhammad Hasan Siddiq
1984
1991

KH Ali Yafie (pjs)
1991
1992

6 KH Mohammad Ilyas Ruhiat
1992
1999

7 KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz
1999
sekarang



Basis pendukung
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
Tujuan
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Usaha
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Struktur
1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Jaringan
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:
• 33 Wilayah
• 439 Cabang
• 15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri
• 5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
47.125 Ranting
NU dan politik
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.
NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.


NAMA : SETIAWAN PRAYOGI
KELAS : xb

peran NU

Peran NU Amat Besar bagi Bangsa dan Negara

Presiden SBY bersama KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, pada acara Harlah ke 82 NU di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (3/1) pagi. (foto: abror/presidensby.info)
Jakarta : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan terimakasih pada keluarga besar Nahdlatul Ulama karena perannya pada bangsa dan negara sejak didirikan tahun 1926. "Atas nama bangsa, negara dan pemerintah, saya ingin menggunakan kesempatan yang baik ini untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Nahdlatul Ulama atas peran, jasa dan pengabdiannya terhadap bangsa dan negara yang telah dilakukan sejak tahun 1926 sampai sekarang ini," kata Presiden, dalam sambutannya, pada acara Harlah ke-82 Nahdlatul Ulama di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Minggu (3/2) pagi.

"Sebelum kemerdekaan, keluarga besar NU ikut aktif membangun wawasan kebangsaan seraya membangun keutuhan bangsa yang religius. Pada masa kemerdekaan keluarga besar Nahdlatul Ulama ikut terlibat dalam membangun konsensus dasar kebangsaan dan kerangka bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Di masa pasca kemerdekaan dan pembangunan dewasa ini, NU terus aktif memberikan sumbangsihnya yang besar pada masyarakat bangsa dan negara. Bahkan Nahdlatul Ulama ikut dalam dinamika dan pasang surutnya kehidupan bangsa kita, termasuk berbagai krisis nasional yang terjadi sejak awal kemerdekaan sambil ikut mencari solusi dan jalan keluar. Sekali lagi terimalah ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus dari bangsa dan negara," lanjut Presiden.

NU, kata Presiden, di kenal oleh bangsa Indonesia, bahkan oleh dunia, sebagai organisasi yang memiliki prinsip dasar, nilai dan jati diri yang kokoh yang mencerminkan, pertama organisasi sosial keumatan yang menganut jalan tengah yang lurus, yang kita kenal dengan sikap moderat, yang menolak kekerasan dan ekstrimitas, yang menghormati perbedaan dan kemajemukan, yang menjamin ukhuwah islamiyah dan ukhuwah watoniyah. Kedua, yang benar-benar menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Yang kedua, lanjut Presiden, NU adalah organisasi yang membangun kemitraan dengan pemerintah untuk menyukseskan program-program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti ekonomi kerakyatan, pendidikan baik pesantren maupun pendidikan umum, kesehatan masyarakat, tindakan melawan kejahatan seperti narkoba dan korupsi, pemeliharaan lingkungan dan lain-lain. "Saya berharap agar dengan prinsip dasar, nilai dan jati dirinya yang baik ini NU terus meningkatkan pengabdian dan peran dalam membangun bangsa di masa kini. Semua yang dilakukan oleh NU di waktu yang lalu masih tetap relevan dan masih tetap diperlukan sekarang dan ke depan," kata Presiden lagi.

Sebelumnya, Ketua PBNU K.H Hasyim Muzadi dalam pidato Harlah NU ke 82 dan Hari Lahir Muslimat NU ke 62, mengatakan Harlah ini jadi penting lagi, dalam usia 82 tahun NU telah lintasi tiga generasi, yaitu generasi pendiri, generasi kita , orang tua, dan generasi muda yang sedang tumbuh. "Pewarisan nilai, ajaran, dan pahami ajaran agama untuk pribadi, agama dan masyarakat selaraskan dengan gerakan keagamaan dan kenegaraan," katanya.

Ditegaskan juga oleh Hasyim Muzadi bahwa NU bukan parpol. "Biar itu jadi wilayah parpol. Harapan kita nilai kebangsaan itu diporses jadi langkah startetgis. Terutama parpol berbasis NU, jangan hanyak mengklaim anak NU, tapi juga amal pada NU. Apakah anak ini soleh atau tidak soleh ?" katanya.

Acara Harlah NU ke-82 ini mengambil tema Selamatkan Bangsa Melalui Gerakan Islam Rahmatan Lil Alamin, dan dihadiri oleh puluhan ribu umat NU se-Jabodetabek. Selain Presiden dan Ibu Negara Ani Yudhoyono, hadir pula Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ibu Mufidah Kalla, Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Mensesneg Hatta Rajasa, Seskab Sudi Silalahi, Menteri PDT Lukman Edi, Menteri Koperasi dan UKM Suryadharma Ali, Ketua MK Jimly Ashidiq, Ketua BPK Anwar Nasution, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Wiranto, Gubernur DKI Fauzi Bowo, dan Jubir Andi Mallarangeng.

Perayaan Puncak Harlah NU ke-82 ini juga diikuti oleh Keluarga Besar NU yang berada di Lamongan Jawa Timur, Lampung, dan Batam, melalui tele conference. Usai sambutan dan penampilan kesenian hadrah, acara ditutup oleh parade defile drum band. Presiden dan Ibu Negara beserta rombongan meninggalkan tempat acara pada pukul 11.30 WIB. (nnf)

Di susun oleh:
1. Rochmat Burhan.S
2. Triyanto
3. Erlan A.E
4. M.Misbachul Anam
5. M.Fajar fadli

Kelas Xb