Jumat, 05 November 2010

KH.ABDURROHHMAN WAHID

Wafatnya Gus Dur telah menyisakan pesan dan kesan tersendiri bagi warga NU. Gus Dur ternyata seorang tokoh NU yang dapat diterima keberadaannya dan ditangisi ketiadaannya oleh seluruh anak bangsa yang berlatar belakang berbeda, baik dari segi suku, agama, ras maupun aliran. Keberhasilan Gus Dur tersebut membuktikan ajaran aliran ahli sunnah yang dianutnya telah mengkonstruksi pemikiran dan perjuangannya sebagai bapak pluralisme di Indonesia.
Dibalik tradisionalitas ajaran dan sejarah NU, ternyata ada elanvital dari pluralisme bangsa. Sikap, pemikiran dan tindakan Gus Dur dalam meretas jalan demokrasi dan pluralisme di Indonesia berawal dari serangkaian faham ala ahli sunnah wal jamaah. Faham yang dimaksud: faham i’tidal, tawazun, tasamuh, dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Gus Dur sesungguhnya merupakan contoh kongkrit dari manifestasi falsafah hidup NU. Tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Siapapun tidak bisa membantah bahwa Gus Dur adalah putra terbaik NU, yang melebihi tokoh-tokoh NU dimasa lalu dan dimasa kini. Belum ada sepanjang sejarah NU, ada tokoh NU yang berhasil mengkombinasikan antara keulamaan dan kepresidenan. Dimana otoritas agama dan negara menyatu dalam dirinya, walaupun usia pemerintahan Gus Dur tak lebih dari dua tahun.
Gus Dur telah menjadi teks sejarah NU yang dapat ditelaah dan dikaji oleh siapapun. Bagaimana Gus Dur berhasil membumikan falsafah Islam ala ahli sunnah wal jamah dalam konteks demokrasi dan pluralisme di Indonesia. Islam ternyata bagi Gus Dur bukan menjadi penghalang bagi terwujudnya demokrasi dan pluralisme di Indonesia tersebut. Sehingga, siapapun anak bangsa ini merasakan manfaat dari ajaran dimaksud.
Kabut duka telah menyelimuti bumi Indonesia. Di mana salah satu putra terbaiknya dipanggil keharibaan Allah Rabul Izzati. Gus Dur, sang Guru Bangsa, sampai sekarang masih tetap dikenang oleh kawan dan lawannya. Seakan-akan, Gus Dur seperti sumbermata air yang tak pernah kering untuk diperbincangkan, selalu hangat dan menarik. Ini tentu sabuah anugerah yang tak terhingga bagi NU khususnya, dan Indonesia umumnya.
Seorang tokoh pesantren yang tumbuh dan besar dengan tradisi pemikiran dan perjuangan pesantren. Namun tradisi itu pula yang mendorong yang bersangkutan malang melintang di dunia lain, tanpa kehilangan keyakinan dan jati dirinya sebagai anak waris pesantren. Bahkan melalui pemikiran dan perjuangannya di luar dunia pesantren, merasakan makna terdalam dari falsafah Islam ala ahli sunnah wal jama’ah.
Dunia mencatat, Gus Dur selalu “pasang badan” untuk menjaga keutuhan NKRI, membela kaum minoritas, menjamin kebebasan berkeyakinan dan melaksanakan keyakinan tersebut. Banyak kasus yang membuktikan hal itu, seperti kasus Papua, Kongfucu, dan Ahmadiyah. Di mana Gus Dur sangat jelas “pembelaannya” terhadap mereka, sekalipun menentang arus besar yang beresiko tidak populer di kalangan umat Islam, bahkan di kalangan NU sendiri. Itu resiko yang harus dibayar demi keyakinan demokrasi dan pluralisme yang dianut.
Dalam konteks ini, Gus Dur tidak ada duanya. Banyak tokoh yang takut dicaci-maki dan dibenci, sehingga memilih “menggadaikan diri”. Gus Dur justru sebaliknya. Disinilah keutamaannya. Maka dari itu, sulit menemukan tokoh yang sekaliber di NU. Seratus tahun mendatang belum tentu mendapatkan “anugerah” seorang mujaddid dari NU untuk bangsa layaknya Gus Dur.
Boleh dibilang, Gus Dur merupakan “ayatun min ayatillah”, tanda-tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Sebuah fenemona kemanusiaan yang sarat pesan. Bahwasannya, Islam ala ahli sunnah wal jama’ah adalah ajaran yang melindungi umat yang lain. NU adalah organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan yang menjadi rumah kemanusiaan, dan seterusnnya.
Tergambar jelas peran dan fungsi NU dalam menjaga dan melestarikan faham yang dianut oleh Gus Dur di atas. Gambaran tersebut seperti kias kiai Wahab Hasbullah yang mengibaratkan NU seperti ikan di laut yang tidak pernah asin walau airnya asin. Ini artinya, NU memiliki identitas yang jelas dalam mengembangkan faham dan perjuangan dalam kehidupan keagamaan dan keindonesiaan.
Kendati, NU bergumul dengan berbagai wacana dan perjuangan yang berbeda secara ekstrim dengan faham dan perjuangan NU selama ini, ia tidak pernah terpengaruh malahan mempengaruhi mainstream orang lain. Hal tersebut terbukti dengan jelas keterlibatan NU dalam menjaga keutuhan NKRI, tanpa mematikan sikap kritis terhadap berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada, melindungi kaum minoritas tanpa menjadi bagian kaum minoritas, serta menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa menciderai kemurnian agama.
Dengan demikian, NU telah berhasil memberikan manfaat bagi anak bangsa ini, sehingga ketika salah seorang tokoh seperti Gus Dur meninggal akan terasa sangat kehilangan. Dalam benak mereka timbul kegundahan yang luar biasa, akankah ada Gus Dur-Gus Dur baru di keluarga besar NU yang sangat care terhadap kedamaian umat beragama. Sebab, Indonesia masih belum benar-benar terbebas dari kekerasan yang berlatar belakang agama lantaran fanatisme yang membabi buta serta fasisme keberagamaan lainnya.
Memang, meninggalnya Gus Dur secara organisatoris dan struktural tidak memiliki dampak signifikan bagi keberlangsungan NU di masa depan. Karena, Gus Dur telah melakukan regenerasi NU sejak 1999, setelah estafet kepemimpinan PBNU di bawah duet KH Sahal Machfudz-KH Hasyim Muzadi. Namun, secara ideologis dan kultural kehilangan simbol utama yang telah berkeringat membesarkan NU dan meningkatkan harkat dan martabat kaum nahdliyin.
NU pasca Gus Dur adalah NU pasca krisis simbol. Belum ada simbol ketokohan yang menyamai beliau dalam segala hal. NU mesti memikirkan regenerasi dan kaderisasi yang lebih sistematis dan komprehensif. Ini bisa dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan NU, pelatihan-pelatihan kepemimpinan dan keorganisasian serta mendorong anak muda NU terlibat secara langsung dalam berbagai peran di internal NU maupun di eksternal NU, tanpa membeda-bedakan latar keluarga yang selama ini menjadi prefensi bagi penyusunan kepengurusan NU.


kelompok:
1.effendi yusuf
2.hans bimantara
3.aqil siroj
4.maqdum hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar