Jumat, 22 Oktober 2010

PENDIDIKAN NU

Kontemplasi keumatan dan kebangsaan patut dilakukan oleh segenap warga NU menjelang hari ulang tahun (Milad) ke-83 NU, 31 Januari. Pergeseran besar kian terasa dalam tubuh jamiyah terbesar di Tanah Air ini. NU kini mengalami dilema di domain kepeloporan sosial, pendidikan, dan keagamaan. Arus besar yang menjadi muara pergolakan di tubuh NU adalah keterlibatan tokoh-tokohnya dalam politik praktis. Dilihat dari genealoginya, NU memang pernah bermetamorfosis menjadi parpol Islam pada masa Orde Lama dan mengantongi suara signifikan sebagai parpol baru waktu itu. Pada era reformasi, kian banyak stakeholder NU, baik secara organisatoris maupun secara kultural, yang terlibat di domain politik. Pada saat bersamaan, mereka menjadi bagian penting dari politik praktis legislatif dan pelbagai perhelatan pilkada.

Di satu sisi, transisi demokrasi kian memberikan peluang kepada warga nahdliyin dan para tokohnya berpolitik hingga mampu memosisikan diri sebagai bagian penting dari produk kebijakan publik. Namun, di sisi lain, perlu disadari bahwa arus politik telah pula memberi dampak tidak konstruktif bagi pertumbuhan pengembangan pendidikan dan SDM NU secara keseluruhan yang menjadi misi utama didirikannya NU.

Kegenitan berpolitik pada gilirannya merambah ke hampir seluruh lapisan struktural dan kultural NU. Kini, politik seolah menjadi tren tersendiri bagi para ulama dan tokoh NU. Para kiai di pesantren-pesantren menjadi gemar berpolitik meski hanya sebagai legilimator atas dukung-mendukung dalam proses pilkada dan pemilu. Kesibukan baru ini dirasa mengasyikkan sehingga tak jarang bagi mereka yang melupakan santri dan jamaahnya. Sebaliknya, santri dan para jamaah sengaja dilibatkan ke urusan politik. Perilaku demikian disadari telah mengikis peran-peran pencerahan NU di aras pendidikan dan komitmen sosial.

Komitmen pendidikan
Sejarah gerakan NU sebenarnya dilatari oleh komitmen kependidikan, keumatan, dan kebangsaan. Sejak awal, NU telah memelopori pendirian lembaga-lembaga pendidikan. Setidaknya, halakah, majelis taklim dengan beragam variasinya, sampai keberadaan pesantren dengan seluruh kontribusinya. Bahkan, sebelum NU lahir menjadi organisasi (jamiyah), fondasi ke-NU-an lebih dulu ada. Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa embrio awalnya berbentuk Taswirul Afkar (1919), Nahdlatut Tujjar (1918), dan Nahdlatul Wathan (1961). Bukan semata jamiyah, melainkan institusi pendidikan yang dipelopori oleh KH A Wahab Chasbullah.

Setelah resmi menjadi organisasi, program pemekaran dan penyebaran pendidikan pun kian berkembang, utamanya bermodel pesantren dan madrasah. Karena itu, lembaga pendidikan asli yang lahir dari rahim NU adalah pesantren sebagai model pendidikan khas tertua dan terkuat di Tanah Air.

Fakta sejarah itu menjadi bukti dari basis falsafah NU: ad da'wah wa at tarbiyah (dakwah dan pendidikan) dan mabarrot (pengabdian sosial). Dalam rumusan hasil muktamar ke-30 NU tahun 1999 misalnya, ditegaskan bahwa pendidikan bagi NU adalah upaya pengembangan masyarakat sebagai manusia aktual yang mampu mengemban fungsi kekhalifahan di bumi (khalifatun fil ardhi).

Dalam praktik pendidikan yang dapat dilihat dari model pesantren, NU memosisikan anak didik sebagai subjek yang mencari pengetahuan dan membentuk dirinya melalui kreasi dan potensi intelegensinya. Santri tidak ditempatkan sebagai tabungan pengetahuan atau teknologi yang hanya menjadi lintasan transfer pengetahuan, melainkan sebagai aktor yang senantiasa berproses secara kognitif, afektif, atau psikomotorik menuju insan kamil yang diidealkan oleh ajaran Islam.

Pendidikan dalam perspektif NU merupakan high education yang benar-benar menempatkan fitrah manusia sebagai makhluk dan bagian dari masyarakat yang peka budaya dan memahami kehadirannya sebagai khalifah Tuhan. Artinya, balancing antara dua posisi: sebagai hamba dan pemimpin, menjadi ultimate goal pendidikan NU. Karena itu, dari sisi pendidikan ini, lahirlah sosok manusia yang mempunyai komitmen sosial tinggi. Pengabdian kepada masyarakat dengan pelbagai variasinya yang didukung dengan metode pendekatan kultural merupakan kunci sukses pendidikan NU.

Dari sini, lahirlah metode dialogis dengan prinsip syura (sharing). Sebagai contoh, hingga kini, di pesantren masih kuat tradisi bahtsul masail yang didesain dengan cara musyawarah bersama antarsantri dalam membahas pelbagai persoalan aktual yang dipersandingkan dengan dinamika agama dan hukum Islam.

Di wilayah afektif, pesantren sangat mengutamakan 'makna batin' yang mewujud dalam kalimat qaulan baligha, qaulan ma'rufan, qaulan syadidan, seperti yang termaktub dalam ajaran Alquran. Semua itu menyiratkan semangat dialogis yang tinggi nilainya.

Di wilayah praktis dan keterlibatan sosial kemasyarakatan, santri dimotivasi untuk lebih eksis, lebih baik, dan lebih bertanggung jawab terhadap sekecil apa pun aktivitas yang dilakukannya. Santri sengaja ditempa menjadi pemimpin, bukan hanya bagi kekuatan yang ada di dalam dirinya, melainkan juga bagi kekuatan yang ada di luar dirinya. Yaitu, sebuah metode individuasi yang diilhami dari pesan rasul kullukum ra'in wa kullukum mas'ulun an ra'iyyatihi (kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang kalian pimpin).

Distorsi SDM
Idealitas pendidikan dan komitmen sosial yang sejak semula dimiliki oleh NU kini kian terkikis. Generasi emas NU yang melahirkan para bapak bangsa kini kian langka karena kesibukannya para tokoh NU berpolitik. Pendidikan agak terlupakan. Padahal, pada saat bersamaan, mereka mempunyai tanggung jawab untuk mendidik generasi muda NU yang masih nyantri. Kualitas mereka pun kian hari mengalami penurunan, tak seperti para pendahulunya. Mereka kini menjadi generasi instan yang kehilangan kebijaksanaan (wisdom) para pendahulunya.

Di tengah masyarakat yang kehausan akan kedalaman nilai-nilai keislaman yang dipahami oleh NU, jangan sampai umat kehilangan pegangan sehingga mencari panutan lain yang tidak sesuai dengan ajaran Islam NU, ahlussunnah wal jamaah. Pendidikan NU harus menjadi penjaga moral Islam yang sejalan dengan Islam Indonesia.

Pendulum kembali ke aras pendidikan perlu disampaikan, suka atau tidak suka, terhadap eksistensi NU sebagai jamiyah atau sebagai bagian dari kultur masyarakat. Fungsi dan peran pendidikan ini musti dikembalikan agar ekistensi NU benar-benar terasa oleh masyarakat luas. Jangan sampai idealitas pendidikan NU ini terkikis hanya karena syahwat politik yang berlebihan. Pilihannya hanya dua: mengembalikan NU ke aras pendidikannya dan mempertajam komitmen sosialnya atau membiarkan NU menjadi jamiyah besar yang kian kehilangan roh pendidikannya. Mari, kita renungkan!

Penulis: Anggota F-PKB DPR RI dan Warga NU

Sumber: Harian Republika, Rabu 28 Januari 2009


NAMA KELOMPOK :

AULIA ASSITA

DINDA AYU IS WARDANI

LAILATUL KHASANAH

MUTIAH YUNITA ATIKANDARI

XA SMA AL MUAYYAD SURAKARTA

2 komentar:

  1. . . . pendidikan NU seharusnya harus lebih dikembangkan dengan metode modern ....
    agar masyarakat lebih tertarik masuk NU.....
    -_-

    BalasHapus